Masih ingatkah legenda malam sebelum tidur? Sekarang jarang berkumandang untuk telinga-telinga yang seolah tuli. Mereka banyak mendengar namun berpura lugu.
“Del, kamu masih sering menulis?”
“Yah, masih untuk ngisi kejenuhan saja sih.”
“Kapan jadi best sellernya, dong?”
“Hehehehe, menulis itu bukan kebutuhan untuk menjadi best seller tapi ini …” kuletakkan tanganku ke dada. Semoga Unie paham akan maksudku.
“Tapi apa nggak kepingin seperti Tere Liye?”
“Rezeki masing-masing penulis berbeda, yang penting tuangkan tulisanmu dengan keikhlasan.” Sejenak tak lagi kudengar suara Unie yang cerewet.
Kutemukan tenang dan menatap layar putih di depanku. Belum kutemukan kata-kata yang pas lagi untukku berbicara pada bintang malam. Dan sebuah ketukan pintu terdengar. Tidak seperti biasanya ada yang mengetuk pintu.
“Mas Prada …” ada canggung di bibirku melihat dirinya di depanku seperti orang bingung.
“Ada apa yah, Mas?”
“Emmm, anuu … gula pasirnya ditaruh dimana yah? Soalnya aku cari di dapur nggak ketemu,” Oh yah, aku lupa! Tadi sore aku membuat kopi dan gula pasir sudah habis tapi aku lupa untuk mengisi toples kosongnya.
“Oh, bentar yah Mas …”
Segera aku ke dapur dan diikutinya. Sungguh tidak ada rasa gerogi sedikitpun atau canggung karena aku yang bersalah. Kuambil gula pasir yang masih di lemari lalu menaruhnya ke toples biasanya.
“Delizta …”
“Yah …”
“Maaf yah sudah ngganggu kamu …”
“Oh, tidak apa-apa Mas, aku lupa isi ulang toples tadi sore.” Kudengar suaranya, rupanya dia bisa berbicara denganku.