Di Balik Kilauannya

Rijaluddin Abdul Ghani
Chapter #1

Berani Berkata "Tidak"

Rey, seorang siswa kelas 2 SMP, dikenal oleh teman-temannya sebagai anak yang pendiam. Ia cenderung lebih suka menyendiri, jarang berbicara kecuali jika diperlukan, dan sering terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kebiasaan ini membuatnya sulit untuk bergaul dengan teman-temannya. Setiap hari, ia berangkat ke sekolah dengan harapan bisa melalui hari tanpa masalah, tetapi kenyataan sering kali berbicara lain. Teman-teman sekelasnya, terutama Reza dan gengnya, sering kali memanfaatkan dan memaksa Rey untuk memberikan tugasnya kepada mereka.

Rey bukanlah anak yang mudah bergaul, ia lebih memilih menghabiskan waktunya sendiri. Suatu pagi, ketika Rey baru saja tiba di sekolah, suara kasar Reza terdengar di belakangnya.

“Rey, gue mau liat tugas matematika lo!” seru Reza dengan nada memaksa.

Rey yang sedang berdiri di depan pintu kelas langsung berhenti, tubuhnya seakan kaku mendengar perintah itu. Meskipun matahari sudah mulai tinggi dan cuaca cukup hangat, Rey merasakan dingin yang merayap di punggungnya. Ia tidak punya pilihan selain menyerahkan buku latihan matematikanya kepada Reza.

Dengan tangan gemetar, Rey mengeluarkan buku latihan matematika dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Reza. Tanpa rasa terima kasih atau sekadar senyuman, Reza langsung mengambil buku itu dengan kasar.

“Cepat dong, kita mau nyontek sebelum Bu Rina masuk!”

Rey hanya bisa mengangguk, berusaha menahan perasaan sedih dan marah yang bercampur aduk dalam dirinya. Tangannya mengepal kuat, dan air mata hampir tumpah, namun ia berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. Ia melangkah masuk ke dalam kelas dengan kepala tertunduk, merasa seperti hari itu akan menjadi hari yang sama seperti sebelumnya, penuh dengan penindasan.

Hari itu, pelajaran matematika dimulai seperti biasa. Bu Rina, guru matematika yang dikenal tegas dan tidak segan-segan memarahi murid yang tidak bisa menjawab soal, langsung memberikan soal yang cukup sulit di papan tulis. Beberapa murid terlihat tegang, ada yang saling melirik dengan khawatir, dan beberapa bahkan menghela napas panjang. Suasana kelas menjadi hening, dengan wajah-wajah murid yang penuh harap agar mereka tidak dipanggil. Ia lalu menatap ke arah Rey dan memanggilnya dengan suara yang terdengar keras di telinga Rey.

“Rey, ke depan!” perintahnya dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Rey merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, rasa takut dan gugup langsung menyelimuti dirinya. Dengan langkah berat, Rey berjalan menuju papan tulis. Tangannya gemetar saat memegang kapur, dan otaknya seakan-akan kosong. Ia tahu bahwa semua mata tertuju padanya, menunggu kesalahan yang akan ia buat. Reza dan gengnya di belakang sudah mulai tertawa pelan, menanti kegagalan Rey.

“Ayo, Rey. Jawab soal ini!” seru Bu Rina, membuat Rey semakin gugup.

Ia mencoba mengingat rumus yang telah dipelajari, namun yang ada hanya kekosongan. Wajah Bu Rina semakin tidak sabar, dan akhirnya Rey berkata dengan suara bergetar.

“Saya tidak tahu, Bu.”

Kelas meledak dalam tawa, dan Rey hanya bisa menundukkan kepala. Bu Rina menggelengkan kepala dengan kecewa, namun kali ini ia tidak memarahi Rey.

“Duduk, Rey,” katanya singkat.

Rey kembali ke tempat duduknya dengan perasaan malu yang menyelimuti hatinya. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri, merasa bahwa ia telah mengecewakan semua orang, terutama dirinya sendiri. Ketika bel pulang berbunyi, Rey mengemas buku-bukunya dengan cepat, berharap bisa keluar dari sekolah secepat mungkin. Namun, saat ia berjalan menuju gerbang, Reza dan teman-temannya sudah menunggunya di sana.

“Rey, besok gue lihat tugas lo lagi, ya! Oh ya, besok jangan lama banget datangnya,” kata Reza sambil menepuk bahu Rey dengan keras.

Rey hanya mengangguk, tak berani menolak. Sesampainya di rumah, Rey langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia duduk di meja belajarnya, menatap buku matematika yang terbuka di depannya. Air mata mulai menggenang di matanya. Ia merasa benci pada matematika dan benci pada dirinya sendiri yang selalu dimanfaatkan. Hari itu, Rey memutuskan untuk berbicara dengan mamanya, yang selalu menjadi tempat baginya untuk berbagi perasaan.

Dengan mata yang masih basah oleh air mata, Rey keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur, di mana mamanya sedang menyiapkan makan malam.

“Ma, boleh ngomong sebentar?” tanya Rey dengan suara pelan.

Mamanya berbalik, menatap wajah Rey yang penuh dengan kegelisahan dengan penuh perhatian, lalu tersenyum untuk menenangkannya.

“Tentu saja, Rey. Ada apa?” tanya Mama Rey dengan lembut.

Rey menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah. Ia menceritakan tentang bagaimana ia sering dimanfaatkan dan ditindas oleh teman-temannya yang memaksa dirinya untuk memberikan tugas-tugasnya. Mamanya mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong, hanya sesekali mengangguk dan menepuk bahu Rey dengan lembut.

“Rey, kamu anak yang kuat, Mama tahu itu. Mungkin ini saatnya kamu mulai berani mengatakan tidak pada teman-temanmu. Mama yakin, kamu pasti bisa.”

Kata-kata mamanya memberikan sedikit harapan dalam hati Rey. Ia tahu bahwa mengubah kebiasaan tidak akan mudah, tapi ia harus mencoba.

Keesokan paginya, dengan tekad yang baru, Rey berangkat ke sekolah. Ia tahu bahwa menghadapi Reza dan teman-temannya akan menjadi tantangan besar, tapi ia sudah memutuskan untuk tidak lagi membiarkan dirinya dimanfaatkan. Saat tiba di kelas, Reza sudah menunggu dengan ekspresi seperti biasa.

Lihat selengkapnya