Keesokan harinya, suasana di kelas terasa berbeda dari biasanya. Para siswa tampak sibuk dengan urusannya masing-masing, tetapi semuanya berubah ketika Bu Ani, guru bahasa Inggris yang dikenal tegas namun bijaksana, masuk ke dalam kelas dengan wajah yang penuh semangat. Dengan suara yang tegas, dan penuh antusiasme, Bu Ani menyampaikan sebuah pengumuman yang membuat seluruh kelas terdiam dalam sekejap.
“Anak-anak, ibu punya kabar penting yang ingin ibu sampaikan kepada kalian,” ujar Bu Ani, suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan.
Semua siswa langsung menghentikan aktivitas mereka dan memusatkan perhatian pada Bu Ani.
“Sekolah kita akan mengirimkan tiga perwakilan untuk ajang debat bahasa Inggris nasional tahun ini. Ibu akan memilih tiga orang dari kalian untuk mewakili sekolah,” lanjutnya dengan mata yang berbinar-binar, menunjukkan betapa pentingnya ajang ini bagi sekolah.
Pengumuman tersebut seketika mengubah suasana kelas. Para siswa saling berpandangan, beberapa dari mereka tampak bersemangat, sementara yang lain terlihat gugup dan cemas. Ajang debat bahasa Inggris nasional bukanlah sembarang acara. Itu adalah salah satu acara yang paling dinantikan oleh siswa-siswa yang memiliki minat dan bakat dalam berdebat dan berbahasa Inggris. Kesempatan untuk mewakili sekolah di ajang bergengsi ini adalah kehormatan besar, sesuatu yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang benar-benar berkompeten.
Di tengah kegaduhan kecil yang muncul akibat pengumuman tersebut, salah satu teman dekat Rey, Doni, yang dikenal sebagai siswa yang penuh semangat dan selalu antusias, mendekati Rey dengan senyum lebar di wajahnya. Doni adalah tipe orang yang selalu optimis dan tidak mudah menyerah, dan kali ini pun ia menunjukkan sikap yang sama.
“Rey, gimana kalau kita ikut seleksi ini bareng-bareng? Aku yakin kita bisa!” kata Doni dengan penuh semangat, suaranya menggema dengan keyakinan yang tinggi. Matanya berbinar-binar, menunjukkan tekad yang kuat dan kepercayaan diri yang tinggi.
Rey, yang pada awalnya merasa ragu dan bimbang, menatap Doni dengan tatapan yang penuh pertimbangan. Ia tahu bahwa debat bahasa Inggris bukanlah hal yang mudah. Persaingannya pasti akan sangat ketat, terutama karena banyak siswa lain yang juga memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik dan keahlian berdebat yang mumpuni. Namun, melihat tekad yang begitu kuat di mata Doni, Rey merasa mendapat dorongan untuk mencoba. Dengan sedikit keraguan yang tersisa, akhirnya ia perlahan mengangguk, menunjukkan bahwa ia siap untuk menghadapi tantangan ini.
“Oke, Don. Aku ikut,” jawab Rey dengan nada yang tidak seantusias Doni, tetapi tetap menunjukkan kesediaannya untuk berpartisipasi.
Mereka berdua kemudian menjumpai Bu Ani di mejanya, yang terletak di sudut kelas, dan menyatakan kesediaan mereka untuk ikut dalam seleksi tersebut. Bu Ani, yang dari awal memang berharap agar banyak siswa yang tertarik untuk ikut, tersenyum melihat keberanian dan semangat mereka.
“Baiklah. Besok kalian akan ikut seleksi sepulang sekolah di ruang guru, ya,” kata Bu Ani, suaranya terdengar hangat dan mendukung.
“Ada 10 orang yang akan bersaing, jadi persiapkan diri kalian dengan baik,” tambahnya, memberi mereka peringatan untuk serius mempersiapkan diri.
Sepulang sekolah, Rey dan Doni tidak langsung pulang seperti biasanya. Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di perpustakaan, tempat yang sering mereka kunjungi untuk belajar dan berdiskusi. Perpustakaan yang tenang dan penuh dengan buku-buku referensi menjadi tempat yang sempurna bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mereka mulai mempelajari mosi yang telah diberikan oleh Bu Ani, mendiskusikan berbagai sudut pandang yang bisa diambil, dan mencari data-data pendukung yang kuat.
Mereka duduk di salah satu meja besar di sudut perpustakaan, yang dikelilingi rak-rak tinggi berisi buku-buku tebal. Cahaya matahari sore yang lembut menembus jendela besar, memberikan suasana yang nyaman untuk belajar. Rey dan Doni berusaha untuk fokus, mencatat poin-poin penting, dan saling bertukar pendapat dengan serius. Rey merasa lebih percaya diri dengan adanya Doni di sisinya. Doni selalu tahu cara membuat Rey merasa lebih baik dan lebih yakin akan kemampuannya.
“Rey, coba pikirkan dari sudut pandang lain. Bagaimana kalau kita fokus pada mencari penyebab masalah tersebut dengan data-data yang ada saja?” kata Doni sambil membuka buku referensi tebal yang ia temukan di salah satu rak.
Rey mengangguk setuju.
“Benar juga, Don. Kita harus punya argumen yang kuat dan data yang mendukung,” jawab Rey sambil mencatat poin-poin penting yang disampaikan Doni.
Mereka terus berdiskusi, memikirkan setiap detail dengan hati-hati, hingga waktu hampir menunjukkan perpustakaan akan tutup. Malam itu, Rey pulang dengan semangat yang membara. Meski ada sedikit rasa gugup yang menghantuinya, Rey merasa siap untuk menghadapi seleksi besok. Ia merasa bahwa persiapan yang telah dilakukannya bersama Doni cukup untuk membawanya melewati seleksi ini dengan baik. Namun, di dalam hatinya, Rey tidak bisa menghilangkan perasaan cemas yang sedikit mengganggunya.