Di Balik Kilauannya

Rijaluddin Abdul Ghani
Chapter #9

Mimpi Yang Terkubur

Rey duduk termenung di bangku panjang halaman rumahnya, pandangannya tertuju pada langit biru yang tampak luas tak berujung. Di sekelilingnya, suara kicauan burung terdengar samar-samar, dan angin sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan pohon mangga yang tumbuh rindang di halaman. Aroma bunga kamboja yang sedang mekar juga tercium, memberikan suasana yang tenang Sejak kecil, ia selalu bermimpi untuk bisa belajar di Amerika. Entah mengapa, ada sesuatu yang sangat menarik baginya tentang negeri paman sam itu. Rey membayangkan dirinya berjalan di koridor sebuah sekolah di Amerika, berbicara dalam Bahasa Inggris, dan bertemu dengan teman-teman dari berbagai negara.

Di sekolahnya, SMA Harapan Bangsa, ada sebuah informasi tentang program pertukaran pelajar yang hanya diadakan tiga tahun sekali. Program ini memungkinkan sepuluh siswa terpilih untuk belajar selama satu tahun di Amerika. Ketika mendengar pengumuman tentang program tersebut, hati Rey langsung berdesir. Ini adalah kesempatan emas untuk mewujudkan impiannya yang selama ini hanya ada di dalam angan.

Namun, di balik semangat yang menggebu-gebu, ada rasa takut dan keraguan yang menghantui Rey. Dia tahu bahwa seleksi untuk program ini sangat ketat dan hanya siswa-siswa terbaik yang akan terpilih. Rey bukanlah siswa paling pintar di kelasnya, namun ia selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik.

Seleksi untuk program pertukaran pelajar ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah seleksi administrasi, di mana para siswa harus mengumpulkan berbagai dokumen yang mendukung, seperti rapor, surat rekomendasi dari guru, dan esai tentang alasan mereka ingin mengikuti program tersebut. Tahap kedua adalah tes skolastik, yang menguji kemampuan logika, matematika, dan juga literasi peserta. Tahap terakhir adalah wawancara dalam bahasa Inggris yang dilakukan oleh perwakilan dari sekolah dan organisasi yang mengadakan program ini.

Meskipun Rey awalnya ragu, ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti seleksi tersebut.

“Ini adalah impianmu, Rey. Kamu tidak boleh menyerah sebelum mencoba,” katanya kepada diri sendiri di depan cermin pada suatu malam.

Dengan tekad yang sudah ia kumpulkan, Rey mulai mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk seleksi administrasi. Sepulang sekolah, ia segera duduk di meja belajarnya, menyusun berkas-berkas yang diperlukan. Dia memeriksa setiap dokumen dengan teliti, memastikan tidak ada yang terlewatkan. Di satu sisi, Rey merasa gugup, tapi di sisi lain, ada perasaan puas karena ia telah memulai langkah pertamanya menuju impiannya.

Saat ia menulis esai tentang alasannya ingin mengikuti program ini, Rey mencurahkan seluruh isi hatinya. Ia menulis tentang mimpinya yang sudah ia genggam sejak kecil, tentang betapa ia ingin belajar dan berkembang di lingkungan yang berbeda, dan bagaimana ia berharap pengalaman ini bisa membantunya untuk memberikan kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat ketika ia kembali ke Indonesia.

Setelah semua berkas selesai, Rey mengumpulkannya ke bagian administrasi sekolah. Ia merasa lega, namun perasaan was-was masih menggelayuti pikirannya.

“Apakah berkas-berkasku cukup bagus? Apakah esai yang aku tulis bisa menyentuh hati mereka?”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Namun, ia berusaha untuk tetap berpikir positif.

“Aku sudah melakukan yang terbaik. Sekarang tinggal menunggu hasilnya.”

Beberapa minggu kemudian, pengumuman hasil seleksi administrasi tiba. Pagi itu, suasana sekolah terasa berbeda. Banyak siswa yang tampak tegang, berjalan dengan cepat menuju papan pengumuman yang terletak di depan ruang guru. Rey merasa jantungnya berdebar semakin kencang saat ia mendekati papan pengumuman tersebut. Tangannya sedikit gemetar saat ia mencari namanya di daftar yang ditempel di papan itu.

“Rey Alghani,” bisiknya pelan ketika ia menemukan namanya di daftar tersebut.

Seketika, rasa lega dan bahagia membanjiri hatinya. Rey merasa seperti beban besar telah diangkat dari pundaknya. Ia tersenyum lebar dan segera mengabari mamanya melalui pesan singkat.

 “Ma, Rey lolos tahap pertama!” tulisnya penuh kegembiraan.

 Ini adalah langkah pertama yang sukses, dan Rey merasa semakin dekat dengan impiannya. Namun, perjalanan Rey belum selesai. Setelah euforia singkat karena lolos tahap pertama, ia segera menyadari bahwa tahap kedua yang akan ia hadapi adalah tes skolastik, sesuatu yang tidak bisa dianggap sepele. Rey tahu bahwa tes ini akan sangat menentukan. Ia harus bersaing dengan siswa-siswa terbaik di sekolahnya, dan hanya ada 20 orang yang akan lolos ke tahap ini.

Rey tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Setelah pulang sekolah, ia langsung menuju perpustakaan untuk mempersiapkan diri. Ia meminjam buku-buku latihan tes skolastik, mempelajari soal-soal dari tahun-tahun sebelumnya, dan membuat jadwal belajar yang ketat untuk dua minggu ke depan. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Rey akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berlatih. Ia mengerjakan soal matematika, melatih kemampuan logikanya, dan meningkatkan pemahaman bahasa Inggrisnya. Meskipun merasa lelah, Rey tidak ingin menyerah. Di dalam hatinya, ia terus memompa semangat dengan memikirkan impiannya untuk belajar di Amerika.

Lihat selengkapnya