Rey masih merasakan kekecewaan mendalam dari kegagalannya dalam program pertukaran pelajar ke Amerika sebelumnya. Bayangan nama-nama yang lolos seleksi terakhir terus menghantuinya, mengingatkan akan mimpi yang tak kesampaian. Namun, Rey mencoba tetap fokus pada kegiatan sehari-harinya di sekolah. Meskipun perasaan kecewa itu tetap ada, ia berusaha menjalani harinya seperti biasa.
Di suatu pagi yang cerah, Rey bersama teman-temannya berkumpul di lapangan sekolah untuk mengikuti upacara bendera seperti biasa. Angin pagi yang sejuk membuat suasana terasa nyaman, meski ada rasa letih yang masih tersisa di benak Rey. Setelah upacara selesai, kepala sekolah melangkah ke podium untuk memberikan beberapa pengumuman penting. Para siswa yang tadinya tampak agak lesu setelah berdiri lama, tiba-tiba menjadi lebih bersemangat, termasuk Rey yang mulai merasa penasaran.
“Anak-anak, bapak punya pengumuman penting untuk kalian,” suara kepala sekolah menggema melalui pengeras suara.
“Tahun ini, sekolah kita mendapat kesempatan untuk mengirimkan tiga siswa dalam program pertukaran pelajar ke Jepang. Program ini mirip dengan program pertukaran pelajar ke Amerika yang diadakan sebelumnya,” sambungnya.
Rey merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak pernah membayangkan akan ada kesempatan lain setelah kegagalannya sebelumnya. Pikiran tentang Jepang mulai memenuhi benaknya. Meskipun Jepang bukanlah negara yang selama ini ia impikan, namun kesempatan untuk belajar di luar negeri tetaplah sesuatu yang sangat berharga. Ini adalah kesempatan kedua yang mungkin tidak akan datang lagi.
Lalu kepala sekolah melanjutkan.
“Namun, program ini hanya untuk siswa yang telah lolos tahap kedua dalam seleksi pertukaran pelajar ke Amerika, tetapi tidak lolos dalam tahap wawancara terakhir. Jadi, hanya kalian yang masuk kategori ini yang bisa mengikuti seleksi kali ini.”
Rey terkejut mendengar pengumuman itu. Ternyata, dari sepuluh orang yang tidak lolos tahap akhir seleksi pertukaran pelajar ke Amerika, mereka diberikan kesempatan lain untuk mencoba mengikuti program serupa ke Jepang. Bedanya, kali ini hanya ada dua tahap seleksi, yaitu tes skolastik dan wawancara dalam bahasa Indonesia. Rey merasa ada secercah harapan kembali. Jika ia bisa lolos kali ini, itu akan menjadi pencapaian yang luar biasa, meskipun bukan di negara impiannya.
“Rey, ini kesempatanmu!” bisik Doni yang berdiri di sebelahnya.
“Kamu harus ikut. Jepang juga negara yang keren, dan ini adalah pengalaman yang nggak akan kamu lupakan,” lanjutnya lagi.
Rey mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih ada sedikit keraguan.
“Iya, Don. Aku juga nggak nyangka bakal ada kesempatan lagi. Tapi… apakah aku benar-benar bisa?” Rey bertanya dengan nada ragu, mengingat kegagalannya sebelumnya.
Doni menepuk bahunya dengan penuh semangat.
“Tentu saja kamu bisa, Rey! Kali ini kan wawancaranya pakai bahasa Indonesia, nggak seperti waktu ke Amerika sebelumnya. Jadi kamu bisa lebih santai, kan? Lagi pula kamu kan udah punya pengalaman dari tes sebelumnya.”
Rey mencoba menyemangati dirinya sendiri dengan kata-kata Doni. Memang benar, wawancara kali ini menggunakan bahasa Indonesia, yang tentu saja lebih mudah baginya. Selain itu, ia sudah melalui tes skolastik sebelumnya, jadi ia merasa lebih siap dan tahu apa yang harus dilakukan.
Setelah pulang sekolah, Rey memutuskan untuk langsung pergi ke perpustakaan. Meskipun ia sudah pernah mengikuti tes skolastik sebelumnya, ia tidak ingin menganggap remeh seleksi kali ini. Ia mengambil beberapa buku dan mulai membaca kembali materi yang pernah ia pelajari. Perpustakaan yang sepi membuatnya bisa berkonsentrasi dengan baik. Ia menelusuri setiap halaman dengan teliti, berusaha mengingat kembali konsep-konsep yang pernah ia pelajari.
Dalam keheningan perpustakaan, Rey merenung sejenak. Ia menyadari bahwa meskipun Jepang bukanlah impian awalnya, negara ini memiliki banyak hal yang bisa dipelajari. Teknologi maju, budaya yang kaya, serta pendidikan yang berkualitas tinggi adalah beberapa hal yang bisa ia dapatkan dari pengalaman belajar di sana. Pemikiran ini membuat semangatnya kembali berkobar.
Hari demi hari berlalu, dan Rey semakin yakin dengan kemampuannya. Ia mempersiapkan diri dengan matang untuk menghadapi tes skolastik. Pengalamannya dari tes sebelumnya membuatnya lebih percaya diri, dan ia merasa bahwa kali ini ia punya kesempatan lebih besar untuk berhasil.
Lima hari kemudian, hari yang dinantikan pun tiba. Rey bangun lebih awal, memastikan semua perlengkapan sudah siap. Ia merasa lebih tenang dibandingkan saat mengikuti tes sebelumnya. Ketika tiba di sekolah, ia bertemu dengan sembilan siswa lainnya yang juga akan mengikuti seleksi ini. Wajah-wajah mereka mencerminkan berbagai perasaan, ada yang penuh semangat, ada pula yang terlihat tegang.
Tes skolastik dimulai tepat pukul 8 pagi. Rey duduk di mejanya, dengan tenang menunggu instruksi dari pengawas. Begitu lembar soal dibagikan, Rey langsung fokus dan mulai membaca setiap pertanyaan dengan cermat. Ia merasa sudah mengenal jenis soal-soal ini, jadi ia bisa menjawabnya dengan lebih cepat. Ada beberapa soal yang membuatnya ragu, namun kali ini Rey lebih tenang dan tidak terburu-buru. Ia memastikan untuk memikirkan setiap jawaban dengan baik sebelum mengisinya.
Waktu berlalu, dan Rey merasa puas dengan usahanya. Ia yakin bisa melewati tahap ini dengan baik. Setelah selesai, ia menyerahkan lembar jawabannya kepada pengawas dan keluar dari ruang ujian dengan perasaan lega.
“Gimana tadi, Rey?” tanya Doni yang sudah menunggunya di luar.
“Lumayan, Don. Aku merasa lebih siap kali ini,” jawab Rey dengan senyum kecil.
“Semoga saja bisa lolos,” lanjut Rey lagi.
Doni tersenyum mendengar jawaban Rey.
“Aku yakin kamu pasti lolos. Tinggal nunggu pengumuman aja, ya.”
Beberapa hari kemudian, pengumuman hasil seleksi tes skolastik tiba. Rey merasakan detak jantungnya semakin cepat saat melihat papan pengumuman di dinding sekolah. Setelah mencari namanya dengan teliti, ia akhirnya menemukannya di daftar sepuluh besar yang lolos. Rey hampir tak percaya, ia benar-benar lolos lagi! Perasaan gembira langsung memenuhi hatinya.
“Don! Aku lolos lagi!” seru Rey kepada Doni yang sedang berjalan mendekat.
Doni segera menghampirinya dan memberikan pelukan persahabatan.
“Aku udah bilang kan? Kamu pasti bisa, Rey! Tinggal satu tahap lagi, dan kamu bisa ke Jepang!” kata Doni dengan penuh semangat.