Rey terus berjalan tanpa arah yang jelas. Malam semakin gelap, dan tubuhnya mulai terasa lelah. Angin malam yang dingin seolah menggigit kulitnya, namun pikirannya jauh lebih gelisah daripada tubuhnya yang kelelahan. Bayangan wajah mamanya yang mungkin sedang diliputi kekhawatiran semakin membuat langkahnya berat. Ia tahu betapa besar kasih sayang yang diberikan mamanya, tetapi kenyataan pahit tentang kegagalan membuatnya sulit untuk kembali ke rumah.
“Mama lagi ngapain ya sekarang? Pasti Mama sangat khawatir tentang keadaanku,” batin Rey penuh penyesalan.
Rey berhenti sejenak, mencoba menenangkan napas yang memburu. Ia menatap ke sekeliling, namun yang terlihat hanyalah kegelapan dan bayang-bayang pohon yang menyeramkan. Jalan setapak yang ia lalui semakin sunyi, membuat hatinya terasa semakin sunyi pula. Ia memutuskan untuk terus berjalan meski tubuhnya mulai memberontak, menuntut istirahat. Kegelapan malam seolah menyatu dengan perasaan terpuruknya, menciptakan suasana yang suram.
Setelah berjalan sekitar satu jam, Rey mulai kehabisan tenaga. Rasa kantuk menyerang matanya yang sudah berat. Ia berusaha keras untuk tetap terjaga, namun tubuhnya yang lelah tak bisa diajak kompromi. Ia mencari tempat untuk beristirahat, hingga akhirnya menemukan sebuah gubuk tua yang tampak reyot di ujung jalan.
“Mungkin aku bisa beristirahat di sini,” tanpa banyak berpikir tentang apapun.
Rey masuk ke dalam gubuk tua itu. Rey duduk di sudut gubuk tersebut, menyandarkan tubuhnya yang lelah pada dinding kayu yang sudah lapuk. Meskipun tempat itu jauh dari kata nyaman, tetapi setidaknya dia bisa melepas lelah. Tak lama setelah merebahkan tubuhnya, Rey pun tertidur dengan pulas, larut dalam mimpi yang penuh kegelisahan.
Di dalam tidurnya, Rey bermimpi tentang kegagalan-kegagalannya. Ia melihat dirinya terjebak dalam labirin gelap, di mana setiap langkah yang ia ambil hanya membawanya kembali ke titik yang sama. Setiap kali ia mencoba untuk keluar, ia selalu terbentur oleh dinding-dinding yang tinggi dan tak terlihat ujungnya.
Pagi hari menyapa dengan sinar matahari yang hangat menembus jendela kecil di sebuah ruangan. Rey terbangun dengan kaget, menyadari bahwa ia tidak lagi berada di gubuk tua tadi malam. Ia sekarang berada di sebuah rumah kecil yang bersih dan hangat. Rey duduk terkejut di atas tempat tidur, matanya melirik ke sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan.
“Dimana aku? Tolong, jangan sakiti aku!” seru Rey dengan suara gemetar.
Rasa takut akan apa yang mungkin terjadi padanya di tempat asing ini mulai merayap ke dalam pikirannya. Namun, sebelum Rey bisa berpikir lebih jauh, pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang kakek tua dengan senyum ramah muncul di ambang pintu. Wajahnya dipenuhi kerutan yang menunjukkan usianya yang sudah lanjut, namun tatapannya penuh dengan kelembutan yang menenangkan.
“Kamu sekarang sedang berada di rumah kakek. Namaku Kakek Tomi. Tenang, kakek tidak akan menyakiti kamu,” kata kakek itu sambil mendekat ke arah Rey.
Suaranya yang lembut dan tenang seketika membuat Rey merasa sedikit lega.
“Tadi malam, kakek melihat kamu tidur di sebuah gubuk tua. Karena gubuk itu sering jadi tempat maling berkumpul, kakek khawatir kalau kamu kenapa-kenapa, jadi kakek bawa kamu ke sini,” lanjut Kakek Tomi lagi.
“Terima kasih banyak, Kek. Kalau tidak ada kakek, mungkin saya sudah kenapa-kenapa,” jawab Rey dengan suara lirih.
Kakek Tomi tersenyum sambil mengangguk.
“Sama-sama, nak. Oh ya, nama kamu siapa, dan mengapa kamu bisa sampai tertidur di gubuk tua itu?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
Tatapannya menunjukkan kepedulian yang tulus, seolah dia benar-benar peduli dengan apa yang terjadi pada Rey.
Rey menundukkan kepalanya lebih dalam, merasa malu untuk bercerita. Namun ada sesuatu dalam diri Kakek Tomi yang membuatnya merasa nyaman untuk membuka diri. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah.
“Nama saya Rey, Kek. Sebenarnya saya kabur dari rumah. Di tengah jalan, saya kelelahan dan akhirnya tertidur di gubuk tua itu.”
Kakek Tomi menatap Rey dengan penuh perhatian.
“Kabur dari rumah? Memang kamu ada masalah apa, Rey? Coba ceritakan sama kakek. Mungkin kakek bisa bantu,” jawab Kakek Tomi dengan penasaran.
Rey menarik napas lagi, kali ini lebih dalam, mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Saya kabur dari rumah karena saya sudah capek, Kek. Saya gagal berkali-kali di segala bidang. Padahal saya sudah berusaha mati-matian, tapi tetap saja hasilnya nihil,” ungkapnya.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun Rey menahan diri untuk tidak menangis di depan orang yang baru saja ia temui itu.