Di Balik Kilauannya

Rijaluddin Abdul Ghani
Chapter #22

Perjalanan Terpanjang

Pagi itu, mentari belum sepenuhnya menampakkan sinarnya ketika Rey terbangun dari tidurnya. Hari ini adalah hari besar baginya, hari yang telah ia nantikan dengan rasa bangga. Ia bangkit dari tempat tidur, merapikan selimutnya, dan beranjak menuju kamar mandi untuk memulai hari yang sangat penting ini.

Setelah mandi, Rey berjalan keluar menuju ruang makan di mana mamanya sudah menyiapkan sarapan. Sepiring nasi goreng yang hangat tersaji di meja, dengan telur mata sapi di atasnya. Aroma nasi goreng buatan mamanya selalu berhasil membawa kenangan manis masa kecil. Namun pagi ini, ada perasaan yang berbeda. Mereka duduk dan menikmati sarapan bersama, sesekali saling menatap dengan senyum penuh arti.

Usai makan, Rey bangkit dari kursinya dan bersiap-siap untuk berangkat. Perasaan haru mulai menghampirinya saat ia mengemasi barang-barangnya yang sudah tertata rapi sejak malam sebelumnya. Tas ranselnya terasa lebih berat dari biasanya, bukan karena barang yang dibawa, tetapi karena kesadaran bahwa ini adalah momen penting dalam hidupnya

Mamanya menatapnya dengan penuh kebanggaan, namun air mata mulai menggenang di sudut matanya. Rey menghampirinya dengan langkah berat, lalu berpamitan dengan mamanya.

"Ma, Rey berangkat dulu, ya. Doakan Rey selamat sampai tujuan, ya, Ma. Assalamualaikum."

Mata Rey berkaca-kaca, tetapi ia berusaha menahan air matanya. Mamanya tersenyum, meski air mata mulai menetes dari pipinya.

"Waalaikumsalam. Iya, Rey. Hati-hati di jalan, doa Mama selalu menyertaimu."

Rey berjalan keluar rumah, namun pandangannya tetap tertuju pada sosok mamanya yang berdiri di ambang pintu. Mamanya melambai dengan senyum yang penuh kebanggaan, namun di balik itu tersimpan rasa rindu yang sudah mulai merayap sebelum anaknya benar-benar pergi. Rey membalas lambaian tangan mamanya dengan mengepalkan tangannya, mengisyaratkan semangat dan rasa bangganya.

Hari ini, Rey terbang sendiri. Biasanya, ia ditemani oleh Pak Fatur, gurunya yang selama ini selalu mendampingi dalam berbagai kompetisi. Namun, kali ini Pak Fatur sedang ada urusan mendesak yang tak bisa ditinggalkan. Meskipun sedikit sedih tidak ditemani oleh mentornya, Rey tetap bersemangat. Baginya, perjalanan ini adalah tantangan baru yang harus ia hadapi dengan keberanian.

Mobil yang dipesannya tiba tepat waktu dan membawanya menuju bandara. Dalam perjalanan, pikiran Rey melayang jauh ke masa-masa ketika ia baru memulai perjalanannya di dunia matematika. Ia teringat betapa banyak tantangan yang harus dihadapinya, dari penelitian yang gagal hingga perjuangannya meraih medali emas di Jepang. Kini, ia sedang dalam perjalanan menuju London untuk menghadiri konferensi internasional matematika, sebuah prestasi yang bahkan di luar bayangannya beberapa tahun yang lalu.

Bandara terasa lebih ramai dari biasanya, tetapi bagi Rey, semua hiruk-pikuk itu terasa seperti bagian dari mimpi yang sedang ia jalani. Setelah melalui proses check-in dan imigrasi, Rey akhirnya duduk di kursi pesawat, siap memulai perjalanan terpanjang dalam hidupnya. Pesawat akan lepas landas dalam beberapa menit, dan Rey memutuskan untuk menggunakan waktu di udara untuk beristirahat. Perjalanan selama 14 jam ini akan menjadi yang pertama baginya tanpa ditemani siapa pun.

Pesawat akhirnya lepas landas, meninggalkan tanah airnya. Rey memandang keluar jendela, menyaksikan awan-awan putih yang bergerak perlahan. Ia mencoba membaca beberapa catatan tentang presentasinya esok hari, tetapi rasa lelah dari persiapan dan perjalanan membuatnya segera terlelap. Dalam tidur yang tidak terlalu nyenyak, Rey memikirkan setiap detail presentasinya, dari grafik yang akan ia tunjukkan hingga penjelasan tentang fungsinya. Ia berharap semua persiapannya akan membuahkan hasil yang memuaskan.

Ketika pesawat mendarat di London, langit kota itu diselimuti awan kelabu yang khas. Ini adalah pertama kalinya ia menjejakkan kaki di Eropa, sebuah benua yang selama ini hanya bisa ia lihat di layar televisi atau buku-buku geografi. Saat ia melangkah keluar dari bandara, udara Kota London yang sejuk langsung menyambutnya. Mobil yang akan mengantarnya sudah menunggu di depan, dan sopirnya, dengan aksen Inggris yang kental, menyambutnya ramah.

"Mr. Rey, I’ll take you to your accommodation," kata sang pengemudi sambil membuka pintu belakang mobil.

Lihat selengkapnya