Suatu pagi yang cerah di hari Sabtu. Waktu masih menunjukkan pukul 07.00 pagi. Hana baru saja membuka kedua mata setelah mendengar alarm ponselnya. Tak lama, Hana beranjak dari tempat tidur untuk membuka jendela kamarnya. Begitu ia membuka jendela kamarnya, sepoi angin pagi mulai memenuhi seluruh ruangan tersebut.
“Segarnya. Selamat pagi dunia! Hari ini aku ngapain ya? Jalan-jalan sepertinya enak. Mumpung hari Sabtu juga. Aku mandi dulu deh.”
Hana beranjak dari tempat ia berdiri tadi untuk mengambil handuk serta pakaian ganti. Saat hendak memasuki kamar mandi, tiba-tiba saja ponsel Hana berdering menandakan adanya panggilan masuk. Hana pun menunda aktivitas mandinya dan memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut. Tertera nama Dara yang melakukan panggilan tersebut.
“Halo, Dar.”
“Halo, Bestie. Good morning. Pasti baru bangun ya?”
“Morning, Dar. Iya, nih. Aku baru banget bangun. Ada apa telepon pagi-pagi?”
“Aku punya kabar gembira buat kamu, Han.”
“Kabar gembira apa? Jangan bikin aku penasaran deh.”
“Aku… sama Ryan baru saja jadian.”
“Jadian? Nggak bercanda ‘kan?”
“Aku serius. Kamu mau bicara sama Ryan? Aku loudspeaker deh. Sudah aku loudspeaker ya!”
“Halo, Han. Ini gue Ryan. Gue nggak apa-apa ‘kan jadi pacar sahabat lo? Lo nggak marah?”
“Marah? Ya, nggaklah. Aku senang kalian pacaran. Congrats ya kalian! Yan, jaga sahabatku baik-baik. Jangan sakiti dia.”
“Thanks, Han. Siap, gue akan jaga sahabat lo ini dengan baik.”
“Kalau kamu kapan nyusul, Han? Kapan kamu ungkapkan perasaanmu ke dia?”
“Dia? Dia siapa, Sayang? Hana suka sama seseorang?”
“Suttttt, Dar. Jangan beritahu Ryan. Kamu ‘kan sudah janji ini akan menjadi rahasia kita berdua.”
“Iya, iya, aku tahu itu. Sayang, maaf aku nggak bisa kasih tahu soal rahasia ini.”
“It’s okay. Kadang memang nggak setiap cerita gue harus tahu. Gue hargai rahasia kalian berdua. Oh, iya kita jadi pergi?”
“Jadi dong. Han, teleponnya sudah dulu ya? Aku mau jalan sama Ryan.”
“Cie, cie, selamat bersenang-senang ya! Oh, iya pajak jadiannya ditunggu.”
“Iya, Senin, Han. Gue traktir di kantin. Gue juga akan ajak Jeffry.”
“Okay, deh. Sampai jumpa lusa. Bye, Yan, Dar.”
“Bye, Han.”
Setelah panggilan telepon mereka terputus, Hana kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda dan bergegas masuk kamar mandi. Di tengah guyuran shower tiba-tiba ia kepikiran dengan kata-kata yang ucapkan sahabatnya.
Kalau kamu kapan nyusul, Han? Kapan kamu ungkapkan perasaanmu ke dia?
“Hmm, kapan ya aku jadian sama dia? Kapan aku berani mengungkapkan perasaanku ke Jeffry? Ah, nggak berani! Kalau cintaku bertepuk sebelah tangan bagaimana? Aku belum siap ditolak. Misi pendekatanku dengan Jeffry harus segera di mulai. Aku nggak mau keduluan orang lain. Jeffry harus jadi pacarku!”
Selesai mandi, Hana langsung bergegas menuju garasi untuk menaiki mobil kesayangannya “si Minnie”, sebutan untuk mobil Mini Cooper S5 Door yang berwarna kuning miliknya. Tiba-tiba saja Bi Narti mencegatnya.
“Non Hana mau ke mana? Nggak sarapan dulu? Itu sudah Bibi siapin.”
“Hana mau sarapan di luar, Bi. Bibi saja ya yang makan.”
“Tapi, Non…”
“Sudah ya, Bi. Hana buru-buru. Bye, Bi Narti!”
Hana masuk ke dalam mobil. Ia bergegas menyalakan mobilnya dan menekan tombol remote untuk membuka pintu garasinya secara otomatis.
“Minnie, are you ready? Let’s go to Jeffry’s home !”
Hana melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit, Hana tiba di tujuan. Sebuah rumah sederhana yang sekaligus menjadi warung pecel lele tempat ibu Jeffry berjualan.
“Wah, warungnya rame banget. Kira-kira aku kebagian tempat duduk nggak ya?”
Hana turun dari mobil dan mulai memasuki warung yang sedang ramai pengunjung tersebut. Kedatangannya langsung disambut oleh Jeffry, pria yang ditaksirnya sejak lama.
“Selamat datang di Warung Pecel Lele Dejajaje. Silakan pesanannya.”