Dimalam yang gelap, di bawah bulan Januari ’98 yang mengintip dari balik awan-awan tipis, gemerlap jalanan dihiasi lampu remang-remang cahaya redup. Di seberang gedung bar anggur, seperti bayangan di tengah malam, Terreca Northwest memegang dan melihat selembar foto yang menjadi targetnya.
Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki hendak keluar dari bar, tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah dua pria berjas hitam dengan pistol menggantung di pinggang mereka. Di belakang mereka, seorang pria buncit sibuk menyelipkan dompet ke dalam saku, diiringi oleh tiga pria berjas hitam lagi dengan tangan kanan mereka menggenggam erat pistol mereka.
Hampir tak ada celah untuk mendekati targetnya. Tubuhnya dikelilingi oleh bodyguard yang waspada, menanti mobil jemputan. Meski begitu, dengan hati-hati dan tanpa kehilangan ketenangan, Terreca menyelinap dan berusaha mendekati targetnya. Mobil jemputan itu pun tiba tepat waktu.
Terreca menyembunyikan rambutnya dengan hoodie yang dipakainya. Berani menantang takdir, Terreca menyebrangi jalan sambil berusaha mendekati target. Namun, seketika “Cringg” lampu depan bar pecah dan padam, menyelimuti semuanya dalam kegelapan—kecuali Terreca yang berhasil memecahkan lampu tersebut.
Dalam keheningan malam, menggunakan keahlian yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang berada dalam bayang-bayang, Terreca mengayunkan kunai bermata tiga yang selalu dipersiapkan di dalam sakunya. “Cpreettt” suara yang hening menandai sabetan yang mengenai jantung targetnya.
Bodyguard-bodyguard itu panik, melepaskan tembakan ke udara dan sebagian menyalakan senter, tetapi semua terlambat. Terreca sudah tidak berada di tempat itu lagi, seolah menyatu dengan kegelapan malam, meninggalkan target yang terkapar dalam genangan darah.
Dengan langkah yang santai, Terreca berjalan di trotoar, sambil mengelap tangannya yang berlumuran darah menggunakan beberapa lembaran tisu. Di sekelilingnya, suara ambulance dan siren polisi bergemuruh saat mereka menuju tempat kejadian.
Gerimis mulai turun dengan perlahan. Tanpa menghiraukan keributan di sekitarnya, Terreca menutup kepalanya dengan hoodie yang dikenakannya, seolah menyembunyikan identitasnya dari dunia luar.
Tiba-tiba, dari belakangnya, terdengar suara pria dengan mata sipit menyapa, “permisi..” Ia memberikan satu pack penuh tisu utuh kepada Terreca sembari berkata, “ini milikmu, tadi terjatuh.”
Pandangan Terreca menerawang, otaknya seakan ngelag, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Namun, dengan sadar ia menyahut, “eh? Aaaah, iya makasih,” sambil mengambil paket tisu yang diberikan.
***
Pagi yang segar membuka pintu kehidupan, sebelum rutinitas harian mengambil alih, orang-orang berkumpul dengan teman-temannya di kantin pinggir jalan. Di sana, jejeran kedai dan meja-kursi tersedia menanti cerita pagi yang baru.