Flashback ke Enam Tahun Sebelumnya.
16 Juli 2017
Pertama kalinya Arman membawa Lena ke rumah keluarga Pratama. Memperkenalkannya secara resmi pada seluruh keluarga, sebagai wanita yang dipilih menjadi pendamping hidup.
Saat itu, Lena begitu cantik walau tampak gugup. Berusaha tersenyum, menyembunyikan rasa tidak nyaman di balik wajahnya yang anggun.
Keluarga Pratama dikenal sebagai keluarga terpandang dan sangat menjaga nama baik. Setiap anggota keluarga harus memiliki latar belakang yang jelas dan terhormat.
"Papa dan Mama pasti menyukaimu," bisik Arman saat mereka berjalan menuju pintu besar yang dihiasi ukiran emas.
Lena mengangguk walaupun dirinya semakin gelisah, berharap segalanya berjalan lancar. Ia tahu, Diana, adalah sosok yang sangat keras dalam hal memilih calon menantu. Bibit, bebet, dan bobot selalu menjadi point utama, sedangkan dirinya hanya yatim piatu yang bekerja sebagai staf biasa di perusahaan konsultan kecil.
“Ayo, ke ruang makan. Papa, Mama, dan Andika, sudah menunggu.” Arman menggandeng tangan Lena, memasuki ruang makan yang megah, dan membuat wanita itu semakin gugup.
Meja makan besar dipenuhi dengan hidangan mewah, perangkat saji dari kristal berkilauan, lilin-lilin menyala di atas meja, dan serbet dengan renda halus terlipat rapi di setiap piring.
Ruangan itu seolah-olah memancarkan kemewahan yang penuh kekakuan, saat semua mata menatap Lena dengan tajam, dan itu semakin membuatnya merasa kerdil.
Gaun hitam sederhana yang ia kenakan sangat kontras dengan dekorasi rumah yang serba berlebihan, serta pakaian yang dipakai oleh tuan rumah.
“Selamat datang, Sayang. Kami sudah menunggumu dan Arman sejak tadi.” Diana memberikan sambutan hangat dengan pelukan, mengajak Lena ke meja makan.
“Terima kasih, Tante.” Kehangatan itu berhasil meredakan kecemasan Lena, walaupun tak melihat ekspresi Diana yang sesungguhnya.
Diana duduk di ujung meja, memandang Lena dengan tatapan tajam yang tak bisa disembunyikan. Keramahan yang diperlihatkan beberapa detik lalu, lenyap entah ke mana. Sosok Lena yang sangat sederhana.
Di sebelah Diana, Rendra tersenyum hangat, mencoba mencairkan suasana yang mulai terasa tegang.
"Lena, selamat datang di keluarga kami," ujar Rendra, memulai percakapan dengan nada ramah. "Arman sudah lama bercerita tentangmu."
Lena tersenyum sopan. "Terima kasih, Om. Saya senang bisa berada di sini."
Basa-basi berakhir dan makan malam dimulai. Lena yang canggung dan malu, beberapa dibantu Arman mengambil minuman atau makanan. Diana dan Andika diam-diam memperhatikan dengan wajah masam, tak menyukai interaksi keduanya.
Wajah-wajah penuh permusuhan yang mulai terlihat di meja makan, mengharuskan Rendra mencoba melanjutkan obrolan dengan topik ringan, menanyakan perihal pekerjaan dan hobby yang sedang Lena tekuni.
“Saya hanya staf biasa di perusahaan akuntan.” Lena tidak berbohong, berharap kejujurannya mendapat nilai positif dari orang tua Arman. Bahkan setiap kata dan tindakannya dibuat seramah mungkin, untuk menarik simpati calon mertua yang mulai menunjukkan gelagat tak bersahabat.
"Staf biasa?” tanya Rendra, ekspresi wajahnya seketika berubah lebih masam dari Diana.
Arman, bagaimana proyek terbaru di kantor? Papa dengar kamu baru saja menangani klien besar?" Pandangan Rendra berpindah pada Arman, seiring senyum yang memudar.
"Ya, proyek berjalan lancar. Kliennya cukup menantang, tapi timku hebat." Arman menyahut sambil tangannya menggenggam erat jemari Lena, di bawah meja.
Telapak tangan yang basah oleh keringat, bibir yang selalu tersenyum, tetapi hanya sedikit kata yang keluar, cukup membuat Arman mengerti, Lena sangat gugup berada di tengah-tengah keluarganya.