Lena duduk di meja kantor, mencoba fokus pada laporan yang menumpuk. Namun pikirannya kacau, terpaku pada pertemuan makan malam bersama keluarga Pratama, dua minggu yang lalu.
“Haruskah seperti ini?”
Dari tekanan yang diberikan Diana, ia tahu sulit untuk bisa menikah dengan Arman. Cinta saja tidak cukup, karena yang dibutuhkan orang-orang kaya seperti keluarga Pratama adalah validitas dan nama baik.
“Huuffttt ….” Sekali lagi Lena menghembuskan napas berat.
Kisah cintanya tidak sama dengan kisah novel, di mana pemeran utama mendapatkan cinta pria kaya dan berakhir dengan happy ending. Kisah cintanya adalah kehidupan nyata di mana si miskin dan si kaya tidak akan bisa bersatu di bawah satu atap. Andaipun berhasil bersatu, ada banyak batu besar dan tebing curang yang akan membunuh salah satu dari mereka.
“Lagi mikirin apa, sih?” rekan kerja di meja sebelah Lena menyapa.
Lena tersenyum kecil. “Antara cinta dan doa restu, kenapa harus ada penghalang bibit, bebet, dan bobot?”
Lena mengibaskan tangan di udara, isyarat tak membutuhkan jawaban dari sang rekan kerja. Ia tak mau membahas kisah cinta yang sudah berputik, tetapi sepertinya harus gugur sebelum sempat mekar.
Lagi pula, ia tidak bisa mengumbar kehidupan pribadi dan kisah cintanya pada orang lain. Banyak hal yang cukup disimpan sendiri dan tak perlu orang lain tahu.
“Tidak mendapat restu keluarga, heh?” tanya sang rekan, tetapi hanya dibalas dengan senyuman dan kibasan tangan di udara, oleh Lena.
Rekan kerjanya turut tertawa lirih dan tidak bertanya lagi. Mengerti, Lena tidak ingin membahas apapun dengannya.
Di saat yang sama, Lena kembali mencoba untuk fokus pada tumpukan file di depannya, tetapi tanda pesan masuk di ponsel kembali membuatnya harus menelan ludah.
*Temui aku di Restoran Kemuning, pukul empat nanti sore.*
Pesan singkat dari Diana yang membuat seluruh tubuhnya panas dingin.
“Apa lagi kali ini?” keluh Lena, tanpa sadar meremas selembar kertas File.
Sudah dua minggu ini, ia menjauh dari Arman. Menolak diajak bertemu walaupun harus menggunakan alasan sibuk, membalas pesan sekadarnya saja, dan yang lebih menyedihkan, harus berlari menjauh saat pria itu sudah berusaha keras untuk datang menemuinya.
Namun, ia tak mungkin menolak undangan tersebut, karena sama saja dengan menyuruh Diana semakin membencinya.
*Iya, Tante.* Cepat Lena mengirimkan pesan balasan. Ia menarik napas panjang, menatap layar ponsel yang meredup.
***