Lena menghentikan taksi di tengah jalan, melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki ditemani hujan deras. Ia menangis sambil menepuk dada yang terasa sesak, mengabaikan panggilan beberapa orang asing yang menyuruhnya meneduh di emperan.
Namun, ia tidak peduli dengan cuaca. Angin kencang dan guruh yang sesekali menggelegar, sama sekali tak membuatnya takut. Ia hanya butuh menenangkan diri, larut bersama hujan yang menyejukkan.
“Tuhan, apa rencanamu untuk hidupku? Kenapa aku tak pernah dapat kebahagiaan, Tuhan? Cabut saja nyawaku … cabut saja nyawaku, Tuhan!” Lena terduduk di tepi jalan, menangis meraung-raung sambil menengadahkan tangan.
Betapa sulit jalan hidup yang harus ditempuh. Sejak kecil menderita bahkan setelah dewasa, tak juga merasa bahagia.
Ia mencintai Arman, tetapi ikhlas melepaskan jika memang pria itu tidak menginginkannya. Namun, penghinaan Diana … sangat melukai hati.
“Kalau memang tak ada kebahagiaan untukku, izinkan aku mati, Tuhan. Aku ikhlas … aku ikhlas ….”
Lena mengusap wajah, perlahan bangun dari duduknya dan kembali meneruskan langkah, pulang ke rumah kontrakan yang tak seberapa jauh.
Hujan mulai mereda, langkahnya gemetar seiring dengan tubuh yang menggigil kedinginan, memasuki gang sempit, di mana rumah kontrakannya berada. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Arman menunggu di depan rumah sambil merapatkan tubuh ke dinding, menghindari tempias air hujan.
Lena ingin berbalik pergi, tapi Arman sudah terlanjur melihat kedatangannya. Wajah pria itu sangat tampan saat tersenyum, walaupun wajahnya terlihat pucat karena kedinginan.
“Mas ….” Tangan Lena terulur, ingin menyentuh pipi Arman. Namun, saat teringat dengan penghinaan Diana, tangannya ditarik kembali.
“Lena, kenapa …?” Arman tak meneruskan tanya. Ia menggeser diri ke samping, saat Lena membuka kunci pintu kamar kos.
Lena menggeleng, enggan menjawab pertanyaan Arman. Ia masuk ke rumah dengan tubuh basah, terus ke dapur, dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan.
Suaranya sudah habis karena menangis dan berteriak, hati serta pikirannya lelah, bahkan tubuhnya mendadak tak bertenaga walau hanya untuk bicara.
Sementara itu, di luar kamar mandi, Arman menunggu dengan setia, walaupun tubuhnya kedinginan.
“Sayang, kamu kenapa?” Sekali lagi Arman bertanya, tetapi masih tidak ada jawaban dari Lena.
Arman berjalan mondar-mandir di depan pintu, cemas dengan keadaan Lena yang sepertinya tidak baik-baik saja. Andaikan di dalam sana terdengar suara mencurigakan, ia akan menerobos masuk, tak peduli apapun yang terjadi.
Beruntungnya sepuluh menit kemudian, Lena keluar dari kamar mandi. Wajahnya pucat dan bibirnya membiru, serta kulit tangannya mengeriput.
Ia berhenti sejenak, menatap sayu pada Arman dan berkata dengan suara lirih. “Tunggu sebentar, Mas, aku ambilkan handuk.”
Lena masuk ke kamar, berganti pakaian sebentar, kemudian keluar lagi dengan membawa handuk kering untuk Arman. Kasihan melihat kekasihnya kedinginan.
“Aku buatkan teh jahe, mau, Mas?” tanya Lena seraya menyalakan api. “Pakaian ganti punyamu, ada di kamar.”
Rumah kontrakan ini sangat kecil, hanya ada ruang tamu kecil yang disekat sebagian sebagai dapur, satu kamar tidur, dan WC yang mencakup kamar mandi. Namun, ia betah tinggal di rumah kontrakan ini, karena pemiliknya yang sangat baik.
“Boleh, Sayang,” sahut Arman seraya masuk ke kamar Lena, lalu sepuluh menit kemudian keluar dengan pakaian kering.