Di Balik Pintu Jahanam

MR Afida
Chapter #2

Kantor Polisi

Kantor polisi kota, mendadak ramai dengan wartawan, meliput berita. Riuh suara petugas jaga yang menenangkan media, berpadu dengan riuhnya suara keyboard, dan kilatan lampu blitz.

Di sudut ruangan, Maira duduk berselimutkan handuk tebal, menatap penuh kebencian pada pria paruh baya yang sedang diinterogasi penyidik di ruangan berbeda.

“Maira .…” Panggilan dari seorang polwan membuat wanita muda itu menoleh.

Ia beranjak bangun, melangkah dengan sangat perlahan menuju meja di mana polwan itu sudah siap dengan laptop yang menyala. 

“Maira, kamu yakin bisa memberikan keterangan sekarang?” Senyum polisi wanita itu begitu lembut, tangannya terulur menggenggam tangan Maira yang gemetar.

Maira mengangguk, kemudian mengedar pandang ke sekeliling. Ruangan berdinding kaca, memperlihatkan pemandangan di luar sana, di mana ramai orang sedang mengarahkan kamera padanya.

Sekujur tubuhnya kembali gemetar, membayangkan dirinya kini menjadi perbincangan orang ramai. *Gadis remaja yang dikabarkan hilang dua tahun lalu, ditemukan menjadi pelacur.* Sungguh sangat memalukan.

“Saya—-” Baru sepatah kata yang terucap, dari arah luar terdengar keributan di mana pria paruh baya yang berada di ruangan berbeda diserbu sekelompok warga yang datang tiba-tiba.

“Bawa Maira ke dalam.” Seorang polisi pria yang baru saja masuk ke ruangan, memberi perintah. 

Tubuh Maira membeku, menyaksikan orang yang paling ia benci meringkuk dihajar sekelompok orang. Kedua kakinya semakin gemetar, tubuhnya mendadak lunglai, hingga harus dipapah oleh dua orang polwan, masuk ke ruangan berbeda. 

Namun, teriak kesakitan pria paruh baya yang terdengar dari kamar sebelah, masih memenuhi telinganya. membangkitkan kembali kenangan menyakitkan yang ia lewati selama dua tahun ini.

Sementara itu, di ruangan berbeda, petugas kepolisian akhirnya bisa meredakan kemarahan warga. Mereka dipaksa keluar, agar tak menghalangi kerja polisi, sedangkan pria paruh baya yang sudah babak belur hanya meringis kesakitan.


“Pak Surya, Anda bisa melanjutkan keterangan.” Hendra. polisi yang bertanggung jawab kembali duduk di tempatnya, siap mendengarkan keterangan Surya. Pria yang menjadi tersangka utama hilangnya tujuh orang wanita, menyebabkan dua korbannya meninggal dunia, dan lima lainnya dijadikan wanita penghibur.

“Saya hanya ingin menikmati hidup,” jelas Surya dengan suara lirih. 

Tidak ada raut penyesalan di wajahnya, hanya senyum yang mengisyaratkan kepuasan. Seolah-olah bangga melakukan kejahatannya.

“Saya cuma guru honorer di sekolah negeri.” Surya memulai cerita. “Bapak, tahu berapa gaji guru honorer? Cuma pas-pasan buat makan seminggu.”

Tangan surya terkepal erat, kecewa pada takdir dan nasib baik yang tak berpihak padanya.

“Saya muak hidup miskin. Muak ngeliat istri yang buluk, nggak terawat. Muak bekerja keras setiap hari, tapi nggak dapat ucapan terima kasih.”

Mata Surya menerawang, mengingat kembali kejadian lima tahun lalu. Malam di mana ia mendapatkan ide gila menculik seorang perempuan muda untuk memuaskan nafsunya.

Lima tahun lalu, ia berada di kamar belakang, menikmati adegan erotis yang ditayangkan salah satu aplikasi obrolan video live. Kegiatan yang dilakukannya setiap malam, membangkitkan syahwat dengan melihat wanita-wanita muda menjual tubuh polos mereka secara live streaming

Ia mendesah, saat adegan erotis dari pemandu siaran langsung menggila, meningkatkan nafsu binatangnya sampai ke ubun-ubun. Namun, desahannya terhenti saat melihat banyaknya hadiah yang penonton berikan kepada wanita pemandu siaran langsung, serentak dengan sampainya ia di puncak nafsu.

“Bushet, bisa jadi berapa duit tuh pulau?” Mata Surya semakin terbelalak saat melihat seorang penonton mengirimkan hadiah pulau untuk wanita tersebut.

Sejauh yang ia tahu, pulau itu seharga empat puluh ribu koin emas yang dibeli dengan harga kurang lebih dua juta lima ratus ribu. 

Lihat selengkapnya