Mobil Surya melaju, menuju pinggiran kota, memasuki jalan beraspal yang sudah rusak, dengan pemandangan area persawahan di sekelilingnya.
Semakin ke dalam, rumah penduduk semakin jarang, dan tidak ada lagi sawah yang membentang, hanya pohon-pohon besar yang berderet sepanjang jalan.
“Mas, kita mau ke mana? Jangan macam-macam, Mas. Kita ini teman kerja.”
Maya mencoba mengancam, menutupi suaranya yang gemetar ketakutan. Mengguncang tangan Surya, memaksanya menghentikan laju mobil. Namun, pria itu justru semakin gila.
Surya menginjak pedal gas, memacu kendaraan di jalan berbatu, hingga tak sengaja mobil oleng ke kiri dan hampir saja masuk ke dalam parit, pembatas jalan.
“Sialan!” Surya melayangkan tamparan di wajah Maya. “Aku sudah sabar dari tadi, tapi kamu nggak bisa dikasih hati.”
Surya menarik rambut Maya, kemudian menghantamkan wajahnya ke dashboard mobil, hingga hidung wanita itu berdarah. Tak cukup sampai di situ, ia mengikat kedua kaki dan tangan wanita malang itu, dan menyumpal mulutnya dengan kaos kaki bekas pakai.
“Kalau kamu mau selamat, diam dan jangan buat aku marah!” Tangan kekar Surya mencengkeram dagu Maya dengan kasar.
Maya meringis, tetapi tak bisa lagi bersuara, hanya air mata yang tak henti menetes. Tubuhnya gemetar menahan rasa takut, ia seperti tak mengenal Surya. Tetangga ramah dan baik hati, di kenal ringan tangan oleh seluruh warga komplek, ternyata sangat kasar.
Saat ini pikiran buruk mulai menghantui Maya, tak tahu apa yang direncanakan Surya padanya. Mengapa ia dibawa sejauh ini? Mengapa pria itu berubah kasar dan kejam?
Mobil berhenti tepat di depan tanah luas terawat yang dikelilingi tembok tinggi. Surya keluar sebentar untuk membuka pintu gerbang, kemudian kembali ke mobil, dan membawanya masuk ke dalam.
Mata Maya liar mencari-cari rumah warga, atau mungkin ada satu dua orang yang melintas dan bisa menyelamatkannya. Namun, nihil.
Tempat itu terlalu sunyi, hanya banyak pohon buah yang tumbuh subur, berjajar rapi di sisi kiri kanan jalan setapak, mengarah pada satu rumah sederhana di tengah-tengah tanah luas itu.
Maya menduga saat ini mereka sedang berada di tengah kebun, walaupun tidak terlalu yakin. Karena selain pohon-pohon besar, di sekitar rumah sana, juga terdapat banyak pohon bunga.
“Keluar! perintah Surya, menarik paksa tangan Maya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah.
Sebenarnya, Surya bukan orang yang terlalu miskin. Ia memiliki warisan kebun seluas satu hektar lengkap dengan rumah berdinding seman yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya, saat masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Ia bahkan bisa berkuliah di kota, dari hasil kebun tersebut. Namun, semenjak kakek dan neneknya tiada, tidak ada lagi yang merawat tanaman di kebun itu, hingga hasil panen tak lagi melimpah.