Waktu terus berlalu dan gelap semakin pekat, merambat sampai ke dalam rumah.
Maya duduk sendirian di ruang tamu, berusaha menangkap bayangan apa saja yang terlihat. Namun, hampa. Dinding-dinding kusam rumah itu tak lagi terlihat, hanya ada gelap di sekelilingnya yang semakin pekat.
“Jam berapa sekarang?” Maya mendekap perut yang perih, belum terisi makanan dari pagi. Namun, ke mana akan mencari makanan di dalam gelap begini?
Ia tidak tahu tata letak ruang di rumah ini, tidak tahu apakah ada makanan yang tersisa atau sengaja disimpan Surya untuknya.
Ia beranjak bangun, meraba-raba dinding, mencari-cari tombol lampu. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dinginnya ruangan, tetapi karena ketakutan yang terus menghantui.
Takut Surya datang dan menyakitinya lagi. Takut pada gelap yang membuat napasnya sesak, dan takut pada hantu yang mungkin muncul dalam gelap.
“Aduh, sakiiiit ….” Maya merintih saat kakinya tersandung kaki meja.
Pukulan yang diterima bertubi-tubi, nyeri di seluruh badan, dan ketakutan yang menghantui, membuatnya melupakan banyak hal, termasuk tata letak perabot yang sempat dilihatnya sepintas lalu, saat tiba di rumah ini tadi pagi.
Ia kembali meraba-raba dinding dan mendesah pelan saat berhasil menemukan tombol lampu. Namun, setelah itu ia menghela napas panjang, meluapkan rasa kecewa. Tombol lampu itu ternyata rusak.
ketika dia menekan tombol itu, tidak ada yang terjadi. Tidak ada satupun lampu yang menyala. Entah karena tombolnya sudah rusak, atau bola lampunya yang sudah tak bisa digunakan.
Dengan putus asa, Maya menjatuhkan diri ke lantai, dan menangis sejadi-jadinya. Ia tak tahu dendam apa yang dimiliki Surya padanya, atau pada keluarganya. Hingga pria ramah itu tega menculik dan menyekapnya di rumah gelap ini. Tidakkah Surya kasihan padanya? Pada anak yang baru dilahirkannya tiga bulan lalu?
“Leah … Leah … tolong Mama, Nak.” Maya menangis seperti orang gila, berulang kali meneriakkan nama putrinya. “Mas Ibnu, Bapak, Ibu, tolong Maya.”
Ia kembali meringkuk di lantai, suara tangisannya sudah tak sekeras tadi. Lelah menjerit, lelah meminta tolong, tetapi hanya ada kesunyian di sekitarnya.
“Aku mau pulang. Aku rindu Leah, rindu anakku,” lirih Maya. Ia tidak tahu berapa lama menangis, tetapi rasanya seperti sudah dua jam berlalu. Ruangan itu semakin sunyi, hanya perutnya kembali berbunyi minta diisi.
Maya menekan perut yang semakin perih, berharap rasa lapar bisa hilang begitu saja. Namun, semakin ditahan, rasanya semakin menyiksa.
Ia bangkit perlahan, melangkah hati-hati dalam gelap, berusaha mencari jalan menuju dapur.
Ragu-ragu meraba dinding, merasakan dinginnya permukaan kasar yang seakan membawanya pada perasaan semakin terkucilkan.
Dapur terasa lebih seperti gua yang lembab dan tak ramah.
Tangannya meraba meja, mencari apa saja yang bisa dimakan. Tetapi tidak ada apa-apa. Rak-rak kosong. Tidak ada roti, tidak ada nasi, bahkan tidak ada buah-buahan. Kecuali satu teko air.
Dengan sedikit ragu, Maya mengambil teko itu dan meneguknya. Air itu dingin, menyegarkan di tenggorokan, tapi tidak memberikan rasa kenyang yang nyaman. Setelah meminum setengah teko, dia meletakkannya kembali di atas meja dengan suara dentingan kecil.
"Ibu, Maya lapar," gumamnya dalam tangisan yang kembali pecah.
Andaikan saja Surya tidak menculiknya, saat ini mungkin ia sudah berada di balik selimut hangat bersama Leah, dengan perut kenyang dan rasa bahagia.
“Leah, Mama rindu ….” Tangisan Maya semakin keras, seiring kaki yang kembali melangkah menuju kamar tidur.