Esok harinya, Surya mengajar seperti biasa. berada di ruang kelas enam, memandang kursi-kursi yang tertata rapi diisi oleh siswa-siswa yang tampak lesu di siang hari.
Papan tulis sudah dipenuhi coretan rumus matematika yang diajarkannya dengan serius, menyebabkan murid-murid harus fokus pada pelajaran, walaupun masih ada yang bercanda.
“Jangan banyak bercanda,” seru Surya. “Yang sudah selesai, boleh pulang.”
Riuh suara siswa terdengar, beberapa ada yang semakin fokus mengerjakan soal yang diberikan, dan beberapa justru sudah membereskan perlengkapan sekolah, padahal satu soal pun beli dikerjakan.
“Pak, jadiin PR aja!” Teriak seorang siswa yang duduk di barisan kursi paling belakang.
“Masih ada dua puluh menit, kalian kerjakan dulu, kalau nggak selesai baru jadi PR.” Surya merapikan meja, menatap murid-muridnya sebentar, kemudian keluar dari kelas.
Surya pergi ke ruang guru, melepas lelah dari menghadapi murid-murid yang lumayan aktif. Namun, sesampainya di sana, ia sedikit menyesal, merasakan suasana canggung yang berasal dari tatapan para guru untuknya.
“Tumben rame, biasanya pada ngumpul di kantin,” sapanya berpura-pura ramah.
Sekelompok guru yang berkumpul di pojok ruangan, berbisik-bisik. Mereka membicarakan Maya yang hilang tanpa kabar.
“Biasa, Pak Surya. Kalau ada gosip hangat begini, sayang dilewatkan,” sahut seorang guru pria yang mejanya berada di dekat jendela.
Surya tersenyum pada guru pria itu, duduk di mejanya sambil mencoba fokus pada buku catatan yang dibawanya dari kelas. Namun telinganya menangkap setiap pembicaraan sambil menelan ludah.
“Pak Surya, dengar gosip terbaru? Katanya Bu Maya kabur dengan laki-laki lain,” kata seorang guru perempuan dengan nada bergidik.
Surya menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Masa sih, Bu?”
Seorang guru pria yang lain mendekat. "Pak Surya, emangnya nggak tahu Bu Maya hilang?" tanyanya.
Surya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Saya... tidak tahu banyak, Pak.”
Guru itu mengerutkan dahi, tidak puas dengan jawaban Surya. "Masa sih, Nggak tau? Kalian tinggal berdekatan, kan? Masa nggak dengar beritanya?" desak guru itu lagi.
Keringat dingin mulai membasahi punggung Surya. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi semuanya terasa kacau. "Saya dengar beritanya, tapi nggak berani bicara banyak. Takut jadi masalah, Pak."
Ia menutup buku catatan, berusaha terlihat biasa saja di depan semua teman-teman guru.
"Kemarin ada yang bilang, pernah melihat Bu Maya dan Pak Surya satu mobil, Itu benaran, Pak?" tanya guru perempuan itu dengan nada curiga.
Surya merasa jantungnya seperti ditusuk. Tangannya gemetar di bawah meja. "Itu... tiga hari yang lalu. Saya sudah jelaskan kepada keluarganya dan juga polisi. Saya hanya memberikan tumpangan," jawab Surya dengan suara pelan namun tegas.
Suasana semakin menegangkan untuk Surya. Obrolan para guru semakin menyebar pada hal-hal yang berujung menjadi fitnah untuk Maya.
Tiba-tiba, bel berbunyi, tanda jam pelajaran usai. Surya merasa lega. Ia membereskan barang-barang dengan cepat, kemudian pamit pada seluruh dewan guru. "Saya duluan, Pak, Bu. Harus mengantar siswa pulang. " katanya sambil memaksakan senyum.