“Tiga hari yang lalu?”
Pemilik warung mengerutkan kening, matanya menerawang mengingat kejadian tiga hari lalu yang menurutnya biasa saja.
“Iya, Pak. Tiga hari yang lalu, pagi-pagi sekali. Apa Bapak ada bertemu atau melihat Bu Maya?” Arif mengulang pertanyaan yang sebelumnya diajukan Hendra.
Dia bergerak ke arah bangku panjang, duduk di samping Hendra yang menikmati kue tradisional. Jajanan yang dititipkan warga sekitar di warung kecil tersebut.
Kerutan di kening wanita pemilik warung semakin dalam. “Kalau pagi yang jaga warung, suami saya, Pak. Sebentar saya panggilkan dulu.”
Wanita itu pergi ke bagian belakang warung sekitar 5 menit, kemudian kembali bersama suaminya yang hanya memakai sarung.
Pria tua pemilik warung itu, mendekat ke arah Hendra dan Arif. Bergabung bersama keduanya, duduk di bangku panjang. Matanya merah dan ekspresinya masih linglung, belum tersadar sepenuhnya dari tidur.
“Maaf, Pak, nyawa belum kumpul,” ujar pria itu sambil terkekeh pelan.
Hendra dan Arif terkekeh pelan.
“Jadi gimana, Pak? Istri saya tadi bilang, Bapak berdua, mau tanya sesuatu sama saya,” lanjut pria tua itu.
Hendra mengusap kedua tangan dengan tisu, membersihkan sisa-sisa kue yang melekat.
“Kami mendapat laporan, Bu Maya, warga komplek Citra Bening yang dinyatakan hilang tiga hari lalu, terakhir terlihat di depan gerbang komplek. Apa, Bapak juga melihatnya?” tanya Hendra, kali ini mengubah pertanyaan.
Ia berhadapan dengan dua orang tua yang ingatannya mungkin saja sudah lemah dan sulit mencerna kata-kata lawan bicara. Sebisa mungkin menggunakan kalimat sederhana untuk membangkitkan memori keduanya.
Pria tua itu diam sejenak. Matanya menyipit dan keningnya mengerut.
“Tiga hari lalu … Pagi-pagi … Bu Maya hilang,” gumamnya seraya berusaha mengingat.
“Ooh, Iya, Pak, saya ingat. Tiga hari lalu, Mbak Maya ikut Pak Surya naik mobil, tapi mau pergi ke mana, saya nggak tahu,” lanjut pria tua itu.
“Sebelum Bu Maya pergi ikut Pak Surya, apa ada sesuatu yang janggal, Pak?” Arif menyela.
Pria tua itu menggeleng pelang. “Seingat saya nggak ada, Pak.”
Pria tua itu mulai bercerita tentang mobil Surya yang mogok dan membeli rokok di tempatnya sebanyak dua kali.
Hendra dan Arif bertukar pandang, masing-masing memberi isyarat bahwa mereka merasakan kejanggalan dari keterangan si pria tua.
“Dua kali? Bapak yakin yang beli rokok itu Pak Surya?” giliran Arif yang bertanya.
Pria tua itu mengangguk cepat. “Setiap pagi Pak Surya beli rokok di warung saya, cuma pagi itu saya lihat beliau memang banyak merokok sambil benerin mobil. Kedua kalinya beli, sebelum pergi sama Mbak Maya.”
Hendra diam sejenak, mencerna kata-kata pak tua itu yang terdengar agak aneh cara menjelaskannya. Sedangkan Arif, perhatiannya teralihkan pada makanan di rak kayu tempat menata berbagai kue tradisional.
“Terima kasih keterangannya, Pak.” Hendra mengulurkan tangan, menyudahi pembicaraan.
Ia menoleh ke arah Arif, menganggukkan kepala, memberi isyarat untuk pergi dari warung pak tua.
Mereka berdua kembali ke kantor dengan sedikit kecewa. Alibi Surya tak terbantahkan, tersangka lain tidak ditemukan. Maya hilang tanpa jejak, tanpa ada seorangpun yang melihatnya terakhir kali, kecuali saat turun dari mobil Surya.