Seperti hari-hari biasa, Surya bangun lebih pagi, mengecek ponsel, dan berangkat sangat pagi untuk menjemput anak-anak. Seperti biasa pula, ia mampir di warung kecil depan komplek untuk membeli rokok.
“Pak Surya, tau cerita ilangnya Bu Maya?” tanya pria tua pemilik warung seraya menata kue tradisional titipan warga.
Kening Surya mengerut. “Saya ada denger, Pak. Dari warga komplek dan juga teman kantor, semua cerita tentang Bu Maya.”
Surya menyulut sebatang rokok, duduk di bangku panjang, mendengarkan cerita dari si bapak tua. Hal yang tak pernah dilakukannya, kecuali saat merencanakan penculikan Maya.
Warung baru saja buka, belum banyak pembeli selain warga sekitar yang datang menitipkan jualan. Waktu yang tepat untuk Surya mencari informasi tanpa terkesan ingin tahu. Ia bahkan rela mengeluarkan beberapa rupiah untuk membeli beberapa jenis kue, agar berada lebih lama di warung itu.
“kemarin ada polisi yang datang, tanyain Mbak Maya dan, Pak Surya.” Pria tua itu ikut duduk di bangku. “Saya pikir, Bapak, hilang juga.”
Tawa pria tua itu pecah, wajah polosnya sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan.
Surya terbatuk kecil, dan rokok di tangannya hampir terlepas. “Tanya tentang saya, Pak? Polisi bilang, saya juga hilang, seperti Mbak Maya?”
Kedua kaki Surya mendadak lemas, dan matanya spontan mengedar pandang ke sekeliling, khawatir ada polisi yang mengintai. Namun, sejauh mata memandang, hanya warga sekitar yang beraktivitas seperti biasa.
“Ya, mereka nggak bilang kalau, Bapak, ilang. Mereka cuma tanya, Bapak, ngapain aja sama Mbak Maya,” sahut pria tua itu.
“Terus, apa ….” Pertanyaan Surya terhenti.
Seorang perempuan muda datang terburu-buru untuk belanja, sebelum warung kecil itu ditutup karena pemiliknya harus mengambil sayuran untuk dijual lagi.
Surya yang hendak bertanya lebih jauh, terpaksa menahan diri dan menunggu sebentar, tetapi perempuan itu berbelanja sangat lama, padahal hanya membeli beberapa jenis kue saja. Ia yang tak bisa menunggu lebih lama lagi, terpaksa pergi sebelum mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Sepanjang perjalanan menjemput siswa dari rumah masing-masing dan mengantar ke sekolah, Surya berkali-kali melirik spion, ia juga rela jalan memutar yang lebih jauh, demi memastikan tidak ada yang mengikuti.
“Sial! kenapa aku yang dicurigai?”
Surya memukul setir, wajahnya menegang sementara bola mata liar, silih berganti melihat ke spion dan jalan di depan.
“Apa yang salah? Kenapa malah aku yang dicurigai?”
Ia sudah membuat alibi, seharusnya lepas dari kecurigaan polisi, dan semua rencananya berjalan mulus. Namun, karena polisi sialan yang ikut campur, banyak rencana yang sudah disusun rapi jadi berantakan lagi.
Ia harus lebih berhati-hati saat ke rumah kebun, menunda mencari identitas perempuan cantik berbaju merah, dan yang pasti, menunda usahanya mencari uang secara instan. Untuk sementara, ia tidak boleh terburu-buru dan bertindak sangat hati-hati.
“Sial! Aku jadi nggak semangat buat ngajar.”
Surya meraih ponsel di dashboard, mengirim pesan singkat ke rekan guru. Izin tidak mengajar, karena harus pulang kampung.
Ia tidak mungkin mengatakan sakit atau istirahat di rumah. karena takut polisi mencari informasi lagi tentangnya. Jika ketahuan berbohong, polisi bisa semakin curiga.
*Pak, izin bertanya. Pulang kampung ada urusan apa? Nanti diinfokan langsung ke kepala sekolah.*
Balasan dari teman guru, membuat Surya kembali memukul stir. “Ngapain sih mau tau urusan orang?”
Surya meringis, menahan rasa sakit akibat memukul setir. Ia menepikan mobil, menarik napas panjang, menenangkan suasana hati yang campur aduk.
Marah, takut, dan kesal, semuanya menumpuk.
*Saya ngurus kebun di kampung, Bu. Ada warga desa yang telepon, kebun saya rusak dimasuki orang tanpa izin. Jadi saya berencana mau pasang pagar kebun dulu, hari ini.*