Hampir pukul sembilan, Surya tiba di rumah kebun. Kemarahannya sedikit mereda, setelah bertemu Mira, walaupun masih ada sedikit rasa kecewa.
Perempuan itu rupanya hanya cantik karena make-up. Bedaknya tebal, memakai bulu mata palsu, dan alis mata gundul, hanya bibirnya saja yang seksi, serta bentuk tubuh yang montok.
Jika dibandingkan dengan Maya, Mira masih kalah jauh.
“Rumahmu, sepi, Mas? Jendelanya kenapa dilapisi papan?”
Mira turun dari mobil, mengamati keadaan sekitar, lalu menyusul Surya yang sudah berada di teras rumah.
Dari arah dalam, samar terdengar suara sendok dan panci yang beradu.
“Aku cuma berdua istri tinggal di rumah ini, jadi ini sengaja ditutup rapat, supaya dia aman di dalam rumah.”
Surya membuka kunci pintu, tersenyum tipis, menyadari rumah yang ditinggalkannya rapi dan bersih, tanpa debu sedikitpun.
Maya memang perempuan idaman. Cantik, menggoda dan pandai bebersih rumah.
Sementara itu, Mira agak ragu masuk ke rumah. Gelagat Surya dirasanya cukup aneh. Untuk apa pria itu mengunci pintu dan jendela begitu rapat, dari bagian luar? Bukankah ada istrinya yang tinggal di rumah ini?
“Masuk!” ajak Surya bernada perintah. Senyum ramah di bibirnya yang coklat menghilang, hanya tatapan tajam yang tersisa.
Mira menggeleng sopan. “Saya tunggu di sini aja, Mas. Adem banyak angin.
Sayangnya penolakan Mira tak berbuah manis. Tanpa banyak bicara, Surya menarik tangan wanita itu, memaksanya masuk ke dalam rumah, dan mengunci pintunya.
Ia menarik rambut Mira, menyeretnya masuk ke kamar Maya yang rapi, tetapi terasa pengap dan berbau apek.
Sementara itu, Maya yang sedang memasak di dapur, bergegas mematikan api kompor, dan berlari ke ruang tengah saat mendengar suara ribut-ribut. Mulutnya terbuka lebar, sementara tangan kanannya menggenggam sendok kayu erat-erat, saat melihat Surya menarik rambut Mira dengan kasar.
“Diam di situ, May! Kalau kamu nggak mau babak belur!” Teriakan Surya menggema saat melihat Maya mendekat.
Tangan kurus Maya yang mengangkat sendok kayu, hendak dipukulkan ke kepala Surya, menggantung di udara, Ancaman pria itu, dan tatapannya yang bengis, serta raut wajah membunuh, membuat tubuhnya kaku di dekat pintu.
Di dalam kamar, Surya dengan brutal menampar Mira berkali-kali. Menendang dan menginjak perutnya, serta menghantukkan kepalanya ke dinding. Mirip dengan caranya menyiksa Maya.
“Perempuan sundal! Ngapain tadi nggak mau masuk, hah? Mau kabur kamu?” Tangan kanan Surya mencengkeram dagu Mira, dan menampar wanita itu sekali lagi.
Mira beringsut mundur, tubuhnya gemetar, dan sorot matanya penuh ketakutan, menatap Surya yang juga memandangnya dengan ekspresi wajah bengis.
“Ma—Mas, aku … aku kenapa dipukul, Mas.” Mira mengusap darah yang mengalir di sudut bibir.
Dia agak bingung, kenapa Surya tiba-tiba marah dan melakukan kekerasan padanya. Padahal dia hanya menolak masuk ke rumah. Kecurigaan dan ketakutannya semakin menjadi, dia berhadapan dengan orang sakit jiwa atau psikopat kejam yang biasa ditontonnya di film-film.
Surya meringis, bukan karena sakit, tapi tak suka mendengar pertanyaan Mira. Perempuan itu terlalu banyak bicara. Ia membuka sabuk, melipatnya jadi dua serentak dengan langkah yang semakin mendekat ke arah Mira.
“Pelacur emang cuma bisa ngangkang, tapi otak nggak dipake!”
Ikat pinggang di tangan Surya terayun, lalu hinggap di tubuh Mira bertubi-tubi, serentak dengan pekik kesakitan wanita itu.
“Kamu harus nurut! Aku suruh masuk, kamu harus masuk. Aku suruh kamu makan, kamu harus makan. Aku suruh kamu mati, kamu harus mati!”
Napas Surya memburu, tangannya gemetar, kelelahan menghajar Mira yang kini meringkuk tak berdaya.