“Kamu nggak berniat kabur dari sini, May?”
Mira berbaring terlentang, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang warna putihnya telah berubah kekuningan.
“Kita harus lari dari sini, May,” lanjutnya dengan suara lirih.
Berbicara sepanjang sore, dan perasaan senasib menjadi korban dari kebiadaban Surya, membuat mereka menjadi lebih akrab. Mira yang empat tahun lebih tua, memutuskan memanggil Maya tanpa embel-embel “Mbak”
“Mbak yakin, mau lari? Surya itu kejam, Mbak, kalau ketangkep, kita bisa mati,” sahut Maya lirih.
Rumah ini, walaupun kecil tapi sangat kokoh dan rapat. Terlalu sulit dan tidak ada celah untuk kabur. Di setiap ruangan ada CCTV, dan mereka diawasi setiap hari, apakah masih bisa lari dari tempat ini?
Rumah jauh dari jalan raya, berada di tengah kebun yang luas, dan begitu sampai di jalan, juga belum tentu bisa selamat.
“Kita harus usaha, May. Nggak bisa nunggu aja!” tegas Mira, berbalik memunggungi Maya.
Kamera itu berada di dinding kamar, ia tak mau Surya bisa membaca gerak bibirnya, dan mengetahui rencananya.
“Rumah ini jauh dari pemukiman warga, Mbak. Kalaupun bisa keluar dari kebun, kita belum tentu bisa langsung dapat pertolongan,” lirih Maya. Otaknya sudah dipenuhi dengan ketakutan dengan ancaman Surya.
“May, kamu jangan pesimis sebelum mencoba. Ingat anak kamu, pasti lagi nangis nungguin kamu di rumah.” MIra berbalik da terlentang, kembali menatap langit-langit kamar. Tangannya menggenggam erat tangan Maya.
Maya menangis. Ia baru saja lupa tentang Leah, kenapa Mira mengingatkannya lagi? Antara mengingat Leah dan disakiti Surya, dia lebih rela melupakan Leah,
Tubuhnya sudah kotor, bukan cuma fisik tapi juga batin.
“Saya takut, Mbak. Saya nggak punya keberanian seperti, Mbak.” Maya memejamkan mata, tak mau berbicara lebih banyak lagi. “Saya putuskan besok, Mbak. Semoga keberanian saya sudah terkumpul.”
Mira terdiam, dia tahu Maya seorang anak tunggal yang selalu diberi jaminan kenyamanan dan keamanan oleh orang tuanya. Wanita itu pasti tidak pernah mengalami masalah hidup yang besar, sehingga mudah untuk menyerah.
Berbeda jauh dengannya yang sedari kecil hidup penuh perjuangan. TIdak bekerja keras sampai hampir mati, tidak akan bisa makan. Pekerjaan apapun dilakoni, asal bisa makan tiap hari, walaupun harus menjual diri.
Mira meringis sebentar, bergerak bangun pergi ke kamar mandi, ingin buang air kecil, Hampir semua tempat di rumah ini sudah ia teliti tadi sore, hanya tinggal bagian kamar mandi saja yang harus diamati lebih cermat.
Sementara itu, Di rumah Surya yang di kota, pria itu sedang bertengkar hebat dengan istrinya.
“Mas, kamu berhenti antar jemput anak-anak? Banyak orang tua murid hubungin aku, buat mastikan itu.” Wina mengikuti ke manapun Surya pergi, bahkan ia turut ke kamar belakang, yang menjadi tempat Favorit suaminya.
“Iya, aku udah putuskan nggak mau antar jemput anak-anak lagi. Aku juga mau berhenti ngajar dan ngurus kebun aja di kampung,” sahut Surya tak acuh, membuka baju kaos rumahan yang dipakai dan menggantungnya di kapstok.
“Alesannya apa, Mas? Kamu nggak bisa mutusin kerjasama dengan orang tua murid begitu aja, Pagi kamu jemput anak-anaknya, siang kamu terlantarkan. Minimal dan pembicaraan dululah, beri mereka kesempatan cari pengantar jemput yang baru.”
Wina masih berdiri di depan pintu, mengamati keadaan seluruh kamar. Surya tak pernah mengizinkannya masuk ke tempat ini, sehingga rela membersihkan ruangan ini sendiri.