Di Balik Pintu Jahanam

MR Afida
Chapter #12

Pasti Selamat

Pagi-pagi buta, Mira sudah beberapa kali bolak-balik ke toilet. Berada di sana selama beberapa menit, kemudian keluar dengan wajah berkeringat. Diam-diam berupaya membuka lubang ventilasi.

Tidak ada peralatan apapun, hanya mengandalkan kekuatan tangan, mendorong kayu kecil berbentuk segi empat dengan tambahan kayu melintang di bagian tengah. 

Seharusnya mudah, tetapi karena tidak ada pijakan yang membuat tubuhnya sejajar dengan ventilasi, sehingga kekuatan yang tertumpu pada ujung jari, tidak cukup kuat untuk melepasnya.

“Kalau begini, sampai mampus pun nggak akan bisa lepas!” Napas Mira memburu, terlalu lelah berjinjit dan mendobrak kayu ventilasi.

Ia keluar toilet, mencari benda apa saja yang bisa dipakai sebagai pijakan.

Ada meja kecil di dapur, tetapi sepertinya tidak cukup kokoh untuk menampung berat badanya yang hampir mencapai enam puluh kilo. 

Pakai apa lagi ini? 

Ia berjalan ke ruang tamu, berpapasan dengan Maya yang baru keluar dari kamar sambil meringis, memegang perut.

“Mbak, lagi apa?” Maya mengikuti langkah Mira, hilir mudik dari ruang tamu ke dapur.

Mira menoleh, memindai Maya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Wanita itu terlihat lusuh dengan pakaian yang tak pernah berganti selama hampir satu minggu.

Wajah Maya kusam, rambutnya bau apek, dan … Mira sendiri tidak yakin, kalau Maya mandi setiap hari.

Air di toilet hanya ada ada dua ember, dan pagi ini tersisa sangat sedikit. Apakah dua ember cukup untuk mandi, kencing, dan berak?

“Mas Surya ….”

“Heeee … jangan panggil dia Mas lagi. Panggil aja anjing, dajjal, jahanam, itu lebih pas buat orang seperti dia.”

Mira menutup kedua telinga, enggan mendengar panggilan hormat Maya untuk pria gila yang menculik mereka.

“Ya … itu, maksudnya. Anjing Surya … iya, Anjing Surya,” Maya tergagap, kurang nyaman dengan kata-kata kasar yang ia ucapkan.

“Air di toilet tinggal dikit, nggak cukup buat cebok boker.” Mira menjatuhkan diri di lantai. Duduk dengan berselonjor kaki.

Maya terdiam. Rasa mulas di perutnya semakin menjadi. 

“Aku sendiri di sini, air dua ember udah dipaksa-paksakan cukup untuk mandi, cebok, dan cuci piring.” Maya menarik napas panjang dan dihembuskan dengan kasar. 

“Sekarang kita berdua, airnya paling cukup buat cuci muka. Itu Pun harus nunggu Anjing Surya datang, baru airnya ada,” lanjut Maya.

Setiap hari, Surya selalu menyediakan dua ember air untuknya. Hanya air, dan tidak ada perlengkapan lain.

Selama beberapa hari di sini, ia tak pernah gosok gigi, mandi tak pernah puas.Tidak ada sabun mandi, sabun cuci, dan shampo. Bahkan baju dan perangkat dalaman, tidak pernah berganti.

Mira menatap Maya, kemudian tertawa lirih. “Kamu masih mau bertahan di sini, gara-gara takut disiksa si jahanam itu? Di tempat ini, apa bedanya hidup dengan mati?”

Maya sungguh kasihan. Terlalu penakut, menahan diri dari kekejaman Surya. 

Mira beranjak bangun, tatapannya tertuju pada sofa tua di ruang tamu. Menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangan ke lain tempat.

Ukuran sofa tua itu terlalu besar, sulit melewati pintu toilet yang lebih kecil daripada ukuran pintu pada umumnya. Ingin menggunakan mejanya, tapi benda itu terbuat dari kaca. 

Lihat selengkapnya