Surya memukul setir berkali-kali, dari mulutnya tak henti keluar berbagai macam makian dan sumpah serapah. Benar-benar marah dengan dirinya sendiri yang kecolongan membawa Mira ke rumah kebun.
“Lonte pembuat masalah.”
Ia tak lagi fokus mengemudi, perhatiannya terpecah ke sisi kiri kanan jalan, berharap bisa menemukan keduanya. Namun, bertemu rumah warga, keduanya masih tidak terlihat.
Jangan-jangan mereka sudah ditemukan warga.
Tiba-tiba pandangan Surya teralihkan ke layar ponsel yang menyala, memperlihatkan sosok Mira dan Maya yang berjalan tertatih-tatih di jalan setapak rumah kebun.
“Sial! Rupanya mereka masih di kebun!”
Surya menyeringai, dengan cepat memutar arah mobil, dan melesat kembali ke rumah kebun. Tak peduli jalanan berbatu dan berlobang, ia terobos agar cepat sampai. Tujuannya cuma satu, harus segera membawa Maya dan Mira kembali, kemudian memberi mereka pelajaran.
Pintar juga mereka sembunyi. Surya kembali memukul setir, kemudian tersenyum kecil.
“Mau ke mana, kalian? Jangan pikir bisa lari dari sini!”
Surya berteriak dari dalam mobil sambil menyeringai pada Maya dan Mira yang terkejut melihat kedatangannya.
Ia memarkir mobil di depan gerbang, lalu keluar dengan membawa satu pisau lipat yang sudah terbuka dan selalu dibawanya ke manapun, setiap kali pergi.
“Jangan harap kalian bisa bebas dariku.” Surya maju perlahan, setiap langkahnya penuh perhitungan.
Walaupun tadi sempat terburu-buru hingga harus ngebut, beruntung dirinya belum jauh dan jalanan masih sangat sepi, sehingga dia bisa lebih cepat sampai.
“Jangan dekat, Mas, atau kamu teriak!” Mira membawa Maya bergerak mundur, matanya liar melihat sekeliling. Mencari benda apa saja yang bisa dijadikan senjata.
Surya tertawa, memainkan pisau di tangannya, tanpa mempedulikan ancaman Mira. “Kamu teriak? Silahkan, sampai nyawamu putus!”
Kebun miliknya sangat luas, dan daerah sekitar sangat sepi. Tidak akan ada seorangpun yang mendengarkan teriakan Mira ataupun Maya.
Mira melirik pada Maya yang meringis kesakitan setiap kali kakinya yang terluka menginjak tanah. “May, aku coba melawan Surya, tapi kamu harus cepat lari nyari bantuan.”
Sejujurnya Mira hampir putus asa. Tempat ini sangat terpencil, kecil kemungkinan mereka bisa selamat dari Surya jika terus bersama. Salah satu harus berani mengambil resiko melarikan diri mencari bantuan, dan orang itu jelas bukan Maya.
Maya terlalu penakut dan kakinya juga sedang terluka. Dia akan mudah ditangkap lagi oleh Surya.
Di saat yang sama, Maya hanya bisa mengangguk, tetapi ragu pada kemampuannya untuk bertahan hidup. Kaki yang terus menerus mengalirkan darah, belum tentu bisa diajak berlari.
“Mana teriakanmu, Mira?”
Surya maju semakin dekat, lalu dengan sekali gerakan, ia berhasil menarik tangan Maya dengan sekali sentakan, hingga terlepas dari pegangan MIra.
Maya menjerit, tetapi tangan Surya yang melingkar dan menghujamkan ujung pisau ke lehernya, membuat jeritan itu tertahan dan berganti dengan tangisan.