Surya berdiri di samping gundukan tanah basah yang tertutup potongan kayu bekas, serta daun, dan ranting kering. Napasnya berat, tangan yang tadi memegang sekop terasa kaku, sisa-sisa keringat bercampur tanah melekat di kulit.
Ia memandang hampa pada tanah di mana Mira terkubur. Senja yang biasanya menguning, kini gelap oleh mendung, seolah-olah alam tahu ada yang tak wajar di sini.
Dengan langkah berat, Surya meninggalkan tempat Mira terkubur, menuju rumah kebun. Langkahnya mantap, masuk ke rumah dan melihat Maya duduk di sudut ruangan, terdiam dalam ketakutan. Darah kering melekat di telapak kakinya.
Surya mendekat tanpa berkata sepatah kata. Wajahnya tanpa emosi, hanya ada sorot mata yang bengis.
"Mandi," ujar Surya singkat dengan nada suara rendah dan dingin.
Maya mengangkat wajah perlahan, dan seketika tubuhnya gemetar. "Airnya... terlalu sedikit,” sahutnya lirih, hampir tak terdengar.
Air dua ember yang diambilkan Surya kemarin, hanya tersisa satu gayung.
Surya menghentikan langkah, menatap Maya dengan tajam. "Kamu pikir aku peduli?" suaranya tiba-tiba meninggi.
Namun, tidak lama, pria itu mendesah keras, menahan diri. Dengan kasar, ia berbalik dan mengambilkan lebih banyak air ke dalam baskom hitam yang tergantung di dinding dapur.
“Cepat mandi!” hardiknya lagi, kali ini lebih keras.
Maya mengangguk pelan, dengan susah payah menyeret tubuhnya menuju toilet. Setiap langkahnya diiringi rasa nyeri di kakinya yang terluka. Darah kembali mengalir, meninggalkan bekas merah di lantai kayu yang kotor. Wajahnya pucat, menahan sakit dan ketakutan yang terus menghantui.
Surya berdiri di dekat pintu, mengawasi gerak-gerik Maya. “Cepat bersihkan dirimu, lalu ganti pakaian bersih di kamar.”
Ia berbalik pergi ke halaman depan, mengambil kantong plastik berisi pakaian dan peralatan make-up yang disimpannya di atas ranjang di kamar Maya, sedangkan satu kantong berisi peralatan mandi, ia antarkan ke toilet.
Di dalam kamar mandi, Maya membersihkan diri dengan sabun dan shampo yang baru saja diantarkan Surya. Tidak lupa membersihkan bagian telapak kaki yang terluka. Darah kembali keluar, seiring rasa nyeri yang semakin menjadi.
“Cepat dikit! Lama banget, sih!”
Teriakan Surya mengejutkan Maya. Ia keluar dengan tertatih-tatih dengan tangan berpegangan pada dinding, ia menuju kamar. Lantai bekas pijakannya kembali ternoda darah. Dia berdiri lemah, menatap Surya yang masih dengan tatapan dingin.
"Obati kakimu," kata Surya, matanya tertuju pada darah di lantai.
Seingatnya luka itu sudah ada dari tadi siang, tapi entah kenapa wanita itu sama sekali tidak berniat mengobatinya.
"Ka—kamu, ada obatnya?" tanya Maya tergagap.
Surya terdiam, lupa kalau di rumah kebun tidak pernah ada persediaan obat darurat.
"Bungkus aja pake kain! Jangan sampai darahnya berceceran ke mana-mana." Surya masuk ke kamar maya, mengambil selembar kain usang dan merobeknya, lalu diberikan pada Maya.
Dengan tangan gemetar Maya menerima kain pemberian Surya, melangkah perlahan ke sisi tempat tidur, dan duduk di sana, kemudian membungkus kakinya dengan hati-hati.
“Itu semua buat kamu. Pake sekarang.” Dagu Surya sedikit terangkat, mengarah pada kantong plastik di atas ranjang.
Tangan Maya terulur, meraih kantong plastik pemberian Surya, dan mengeluarkan isinya. Satu stel pakaian berukuran mini, berwarna merah terang, terpampang di depan mata. Ia bergidik ngeri, pakaian itu terlalu vulgar untuk dikenakan.