Maya duduk di depan kamera dengan jantung yang berdetak kencang. Cahaya dari ring light menyilaukan wajahnya, memaksa matanya berkedip cepat.
Di belakang layar, Surya berdiri dengan ekspresi dingin, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
"Mulai bicara," bisik Surya, tatapan matanya tajam, seolah-olah memberikan ancaman pada Maya.
Maya menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gemetar di bibirnya. "Selamat malam, semuanya," ucapnya pelan, suaranya bergetar, tetapi berusaha disamarkan dengan senyuman.
Surya mendekat, berbisik dengan nada rendah yang penuh tekanan. "Suaramu terlalu datar. Buat lebih manja, dan tambahkan sedikit desahan. Buat mereka tertarik."
Aaah, Maya ini terlalu kaku. Menyapa penonton saja tidak bisa, apalagi merayu mereka memberi hadiah.
Maya mengangguk lemah, mencoba melawan rasa takut yang mencekik. "Hai...," katanya lagi, kali ini lebih lembut, dengan nada manja yang dipaksakan. "Aku newbie nih, ada yang mau kenalan nggak?”
Respon dari penonton live streaming Maya, agak hambar, mereka tak menyukai cara berbicara dan gestur tubuhnya yang kaku. Namun, beberapa menit kemudian, komentar, tanda suka, serta hadiah mulai masuk.
Ponsel di depan Maya terus bergetar dengan notifikasi-notifikasi dari penonton yang terpikat. Hadiah digital mengalir, simbol koin dan bunga digital bermunculan di layar.
"Ayo, dong... kirim hadiahnya... biar aku bisa terus menghibur kalian," ucap Maya dengan suara genit, perintah Surya menggerakkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Surya berdiri di belakang, matanya fokus pada layar. "Bagus. Lanjutkan seperti itu," katanya dengan senyum tipis, seolah-olah dia telah memenangkan pertandingan besar.
hadiah-hadiah digital itu adalah pundi-pundi uang yang akan membuatnya kaya.
Maya melanjutkan live, walaupun di dalam hati setiap kata terasa seperti serpihan pisau yang menusuknya. Ia tahu ini salah, tapi tidak ada pilihan lain, daripada harus menerima kematian.
Suara ketukan hadiah terus bergema di tengah upaya Maya membaca komentar dan menyapa penggemar barunya yang rata-rata pria hidung belang, hingga ada satu komentar yang membuat tubuhnya menegang.
"Coba buka bajunya, nanti aku kasih hadiah pulau.” Tulis salah satu penonton, profilnya terlihat mencolok dengan simbol donatur besar di samping nama.
Maya terdiam sejenak, menatap layar dengan perasaan muak. Dia menggeleng perlahan, menolak tanpa kata, tak menduga di dunia virtual dilecehkan sedemikian rupa.
Surya yang melihat gerak-geriknya langsung mendekat. "Kenapa kamu berhenti? Lakuin aja perintahnya. Rayu dia."
Hadiah pulau besar sudah terbayang di depan mata. Ya … pria mesum itu menjanjikan hadiah pulau dengan nominal harga paling besar dibandingkan dengan hadiah lainnya.
Namun, Maya berusaha menolak, walaupun suaranya hampir tak terdengar. "Aku... aku nggak bisa."
Penonton mulai tak sabar, sebagian dari mereka mulai meninggalkan room virtual, setelah meninggalkan komentar yang menyakitkan hati.
Surya mengepalkan tangan dengan erat, manatap Maya dengan tajam. "Anjing! Dipikir aku main-main? Kamu mau mati?" lirihnya, agar tak didengar penonton live streaming.
Di tangannya, pisau lipat kecil terbuka, mengancam Maya dengan dinginnya baja yang berkilau. Menandakan benda tipis itu sangat tajam.
Maya menelan ludah, hatinya menjerit, tapi tak berani membantah. ketakutannya lebih besar daripada keberanian untuk melawan.
Tolong..." lirihya nyaris tanpa suara. Namun, Surya hanya menatapnya dengan senyum dingin.
"Rayu dia," perintah Surya lagi, kali ini dengan lebih keras.
Maya memaksakan dirinya tersenyum, lalu melihat ke arah kamera. "A-aku bisa ... buka ... satu-satu ... tapi kalau kamu kirim lebih banyak," katanya sambil mencoba terdengar menggoda, meskipun suaranya gemetar ketakutan.
Penonton itu setuju. "Setiap kali buka satu pakaian, aku kirim hadiah pulau!"
Surya tertawa kecil di belakang kamera, terlihat puas dengan usaha Maya. “Bagus, Maya. Sekarang, mulai,” perintahnya tanpa belas kasihan.
Maya menggigit bibir bagian bawah. "Aku nggak bisa..." lirihnya lagi, tatapan penuh permohonan tertuju pada Surya.