Di Balik Pintu Jahanam

MR Afida
Chapter #16

Mengintai

Rumah Surya tampak sepi, jendelanya tertutup rapat, tetapi pintu depan terbuka lebar. Tidak ada pergerakan apapun di sana, seolah-olah rumah itu tidak berpenghuni.

“Sepi, tapi pintunya terbuka,” gumam Arif.

Ia berjalan ke sisi pagar, mengintip ke samping rumah, siapa tahu ada orang di sana. Namun, nihil. Ia kembali ke depan gerbang, berdiri di samping Hendra yang memasang wajah serius.

“Mungkin ada di dalam.” Hendra mengetuk pintu pagar, menunggu sebentar, dan mengulanginya lagi, 

“Nggak mungkin ‘kan, nggak ada orang di rumah?” Arif berjalan menjauh dari rumah, berharap dapat bertemu warga, yang dimintai keterangan. 

Namun, berjalan beberapa langkah, muncul sosok wanita di ambang pintu. Postur wanita itu agak besar, tetapi tidak terlalu gendut. Cukup menarik untuk dilihat, walaupun wajahnya terlihat layu dengan memakai baju yang agak lusuh.

Sebenarnya bukan lusuh, tetapi warnanya yang sudah pudar. Andaikan wanita itu berdandan, dia pasti terlihat sangat menarik.

“Maaf, siapa, ya? Mau cari siapa?” Raut wajah tampak bingung, bahkan sedikit takut melihat dua orang asing di depan rumah. Namun, dia tetap mendekat tanpa membuka pintu pagar.

Hendra dan Arif mengeluarkan kartu anggota dan menunjukkannya pada Wina. “Boleh kamu masuk? Ada beberapa hal yang ingin ditanyakan seputar hilangnya Mbak Maya.”

Wina tersenyum, raut cemasnya hilang seiring dengan terbukanya pintu pagar. “Silahkan masuk, Pak.”

Ia masuk ke rumah lebih dulu, di susul Hendra dan Arif yang mengikuti dari belakang sambil memperhatikan area sekitar.

Rumah Surya cukup asri dengan adanya beberapa pohon bunga yang dirawat dengan baik. Lantainya bersih dan aroma harum menyebar saat mereka memasuki ruang tamu.

“Selamat siang, Bu Wina,” Hendra mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. “Maaf mengganggu, kami hanya ingin menanyakan beberapa hal terkait hilangnya Bu Maya.”

Wina mengangguk kecil. Seingatnya Bu RT dan beberapa warga sekitar pernah bercerita kalau mereka pernah ditemui oleh polisi untuk dimintai keterangan hilangnya Maya. Saat ini, mungkih sudah gilirannya.

Iya, Pak,” kata Wina lirih. Ia terlihat gelisah sambil beberapa kali menebar pandang ke seluruh ruang tamunya yang sedikit berantakan.

Hendra dan Arif duduk berhadapan dengan Wina yang gelisah. Wanita itu terus memainkan jemarinya, dan ini membuat mereka agak curiga.

“Kami sedang menyelidiki hilangnya Mbak Maya. Ibu kenal dengan Bu Maya?” Hendra bertanya sambil menatap Wina dengan tatapan menyelidik. Sengaja memberi pertanyaan  menjebak.

Wina mengangguk cepat. “Maya dan orang tuanya tetangga saya. Saya juga tahu beliau menghilang dari … seminggu yang lalu kalau saya nggak salah ingat.”

Sebenarnya, Wina jarang sekali mengetahui perihal kehidupan tetangga di sekitarnya. Bukan karena sombong dan enggan bergaul, tetapi dia memang terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah, sehingga gosip-gosip yang terjadi di sekitar, tidak selalu bisa didapatkan.

Arif mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Sebelum Bu Maya menghilang, apakah Ibu ada melihat sesuatu yang janggal, atau mungkin melihat orang asing yang mondar-mandir di sekitar komplek.”

Ia melirik ke arah Hendra yang mengangguk, setuju dengan pertanyaannya. Wina termasuk tipe orang yang pasif, walaupun tidak introvert dan bukan tipikal pendiam. Wanita itu bisa bercerita panjang kali lebar, jika merasa sudah kenal dengan orang tersebut. Namun, akan lebih banyak diam, saat bertemu dengan orang asing.

Wina menggeleng. “Di komplek ini, selalu sepi kalau siang, karena sebagian besar warganya bekerja dan yang di rumah biasanya cuma pembantu. Dan seingat saya, Maya juga bukan perempuan yang aneh-aneh. Saya kenal baik dengan Maya dan keluarganya, walaupun nggak akrab banget.”

Hendra mengangguk-anggukkan kepala, melirik ke arah Arif yang ternyata melakukan hal serupa. 

Jawaban Wina sangat positif, mereka tidak menemukan celah untuk curiga,

“Kalau keseharian suami Ibu, Pak Surya? Bagaimana? Ada warga yang melihat Pak Surya dan Bu Maya pernah naik mobil berdua.

Wina kembali mengangguk, walaupun keningnya agak mengerut. Apakah polisi mencurigai suaminya? Apakah suaminya yang menculik Maya?

“Di hari hilangnya Maya, suami saya yang mengantar beliau ke sekolah,” sahutnya cepat. “Orang tua Maya juga pernah datang ke rumah, di hari pertama Maya ilang, dan suami saya juga sudah menjelaskan.”

Mendadak keringat dingin membasahi telapak tangan Wina. Bertemu dengan polisi, mendapatkan banyak pertanyaan, dan suaminya yang dicurigai, menghadirkan banyak ketakutan, Walaupun sebenarnya kecemasan itu tidak beralasan.

Hendra dan Arif bertukar pandang. Wina terlihat jujur, tetapi mereka masih belum yakin. 

Arif menyandarkan tubuh ke sofa, berusaha bersikap santai, agar Wina tak terlalu tegang. Perubahan ekspresi wajah wanita itu sangat kentara.

Sementara itu, Hendra mencoba tersenyum, dan lanjut bertanya dengan hati-hati. “Pak Surya, sekarang ada di mana? Ibu tahu , Pak Surya sudah tidak masuk mengajar selama beberapa hari terakhir?” 

Wajah Wina mendadak berubah pucat, dan duduknya mulai tidak tenang. Berbagai pikiran buruk sedikit demi sedikit mulai menghantui.

Lihat selengkapnya