Langit masih gelap pekat saat Surya terjaga dari tidur, melihat jam di meja menunjukkan pukul empat lebih sedikit. Tanpa suara, ia bangkit dan berjalan membuka pintu kamar, kemudian mendekat ke jendela ruang tamu, mengintip ke jalanan sepi di depan rumah. Mencari sosok Hendra dan Arif yang kemarin sempat terlihat memantau dari kejauhan.
Surya menarik napas lega setelah memastikan Hendra dan Arif sudah tak lagi berada di sekitar rumah. Dia bergerak ke arah gudang, mulai menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke rumah kebun. Sepasang baju lusuh, cangkul, arit, parang panjang, kapak, brush cutter, dan sprayer pertanian. Semua dimasukkan ke dalam mobil dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara berisik.
Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, Surya menjalankan mobilnya tanpa berpamitan pada Wina. Dengan pelan membawa mobilnya melewati deretan rumah di sepanjang komplek perumahan. Namun, tepat di depan gerbang komplek, ia melihat mobil Hendra dan Arif terparkir di sana yang menyebabkannya tersenyum sinis.
“Rupanya masih nggak menyerah?” gumam Surya, melirik baju lusuh yang di dalam kantong plastik yang sengaja diletakkan di kursi penumpang.
Rencana hari ini harus berjalan lancar, agar kedua polisi itu tak lagi mengikuti di lain hari.
“Mari kita mulai permainannya.”
Surya mempercepat sedikit laju mobil, berharap Hendra dan Arif tetap mengikuti. Sesekali ia melirik spion, memeriksa apakah mobil keduanya masih di belakang. Sorot matanya penuh kepuasan saat melihat mobil Hendra tetap menjaga jarak aman, seperti anjing yang mengejar majikan.
Ia memasuki pasar bibit di mana ada beberapa toko yang buka lebih pagi dari yang lain. Suasana pasar mulai ramai dengan pedagang yang menata barang, dan pembeli yang menunggu toko langganan mereka buka.
Ia berputar-putar mengelilingi pasar, mencari toko bibit yang agak menjorok ke dalam, lalu berhenti di depan sebuah kios kecil yang memajang sampel bibit di rak kaca,
Kiosnya sangat sederhana, tetapi penataan barang-barang lebih rapi, dan lokasinya juga menjorok jauh ke dalam pasar, ia berdiri di depan rak kaca, melihat beberapa jenis bibit sayuran.
Penjual bibit yang sebelumnya duduk di meja kasir, menyambutnya dengan senyum ramah, “Pagi, Pak. Bibit apa yang dicari?”
Surya memandang sejenak ke arah penjual dan tersenyum. “Saya butuh bibit Cabe, tomat, jambu biji, dan singkong. Semua yang segar dan mudah ditanam,” jawabnya singkat, masih mengamati sekitar kios.
Surya berjalan ke luar kios, melihat sekitar, mencari-cari sosok Arif yang bersembunyi di balik deretan alat pertanian, berjarak dua toko dari tempatnya berada. Sekali lagi, ia tersenyum tipis, lalu masuk kembali ke dalam kios.
Sementara itu, penjual bibit bergerak cepat mengambil beberapa jenis bibit yang diinginkan Surya. dan beberapa batang bibit singkong. “Pak, bibit ini sedang bagus-bagusnya. Jadi, mau coba juga bibit sawi?”
Surya tersenyum kecil, sambil mengamati biji-bijian itu. “Boleh, tapi cuma sedikit. Lagi banyak yang harus dikerjakan di kebun.”
Cara pedagang, selalu menawarkan barang dagangan mereka, walaupun pembeli belum tentu membutuhkannya. Namun, kali ini tidak apa-apa dibeli. Ia membutuhkannya untuk permainan hari ini.
Penjual menyerahkan bungkusan bibit. “Bapak bertani di mana?” tanya penjual itu sekadar basa-basi. Siapa tahu, Surya bersedia jadi pelanggan tetapnya.
“Di kebun warisan keluarga, Pak.” Surya mengambil bibit itu dengan tenang. “Baru mulai belajar, semoga aja hasilnya bagus dan bisa dijual dengan harga tinggi.
Penjual mengangguk. “Kalau, Bapak, butuh pupuk, di sini juga ada. Kalau mau jumlah banyak. saya juga ada jasa antar.”
Surya mengangguk. “Kalau hasilnya memuaskan, saya pasti balik lagi ke sini,” ujarnya sambil menyunggingkan senyum yang tersirat penuh arti.
Surya kemudian pergi dari kios, tetapi setelah berjarak sekitar empat meter, ia menoleh ke belakang dan senyum liciknya mekar sempurna, melihat Arif masuk ke kios bibit yang tadi ia datangi.
Sementara itu, di kios bibit., Arif menyapa penjual dengan sopan, dan mengeluarkan lencana kecil, ditunjukkan pada penjual yang seketika tampak terkejut.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Arif. “Saya dari kepolisian. Tadi ada pria yang beli bibit di sini?”
Penjual menatap Arif dengan sedikit heran, lalu mengangguk. “Iya, Pak. Dia beli bibit cabe, tomat, jambu, singkong. Juga sedikit sawi.”
Ada sedikit sesal di hati si penjual, kenapa harus Surya yang berbelanja di kiosnya? Ia tak tahu siapa pria itu dan kenapa polisi mencari tahu tentangnya. Ia tak mau terlibat masalah.
Arif mencatat si penjual, kemudian bertanya lagi. “Apa dia bicara sesuatu yang aneh?”
Penjual berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Tidak banyak, Pak. Dia cuma beli bibit dan bilang baru mulai belajar bertani.”