Dua Bulan Kemudian
Dua bulan telah berlalu sejak Maya menghilang, tetapi tidak ada petunjuk apapun tentang keberadaannya. Semua upaya sudah dilakukan, termasuk melapor pada yang berwajib. Namun, hasilnya nihil. Entah berapa kali Pak Malik dan Ibnu bertanya tentang Maya, tetapi tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Sampai saat ini, pihak kepolisian belum memberikan perkembangan apapun.
Hari ini, kesekian kalinya Pak Malik bersama Ibnu datang ke kantor polisi. Udara di luar panas menyengat, tetapi di dalam ruangan terasa lebih sejuk. Aroma kopi yang hampir basi dan tumpukan berkas, membuat suasana semakin terasa berat.
Pak Malik duduk dengan wajah lelah, sementara Ibnu menatap kosong ke lantai, Menunggu Hendra yang datang tiga puluh menit kemudian.
“Pak Malik, Mas Ibnu, mohon maaf sudah menunggu lama.” Hendra menebar senyum, menata berkas laporan beberapa kasus yang baru masuk. “Mengenai laporan kehilangan Bu Maya, dengan berat hati kami sampaikan, belum ada titik terang.”
Ruangan sejuk itu mendadak menjadi pengap untuk Pak Malik dan Ibnu. Harapan menemukan Maya terkikis sedikit demi sedikit dengan kenyataan yang tak berpihak pada mereka.
Pak Malik mengangkat wajah, sorot matanya menyiratkan harapan yang semakin pudar. “Belum ada sama sekali, Pak? Bukankah sudah sebulan lebih, sedikit petunjuk pun tidak ada?”
Hendra menggeleng pelan, menghembuskan napas berat. “Pak. Kasus hilangnya Bu Maya masuk daftar orang hilang. Kami terus mencari, tapi belum ada jejak.”
Hendra menelan ludah, seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan, saat menyampaikan kabar buruk tersebut. Tidak tega, melihat pak Malik yang sudah tua menangis.
“Saya... saya hanya ingin tahu, apakah ada kemungkinan istri saya... baik-baik saja?” Suara Ibnu bergetar, setiap kata seperti tercekat di tenggorokan.
Ia ingin menangis, menumpahkan kesedihan yang menumpuk. Namun, masih memiliki sedikit rasa malu.
Di kantor polisi ini, ada banyak orang yang memperhatikan dirinya Pak Malik. Bahkan hampir sebagian orang di sini mengenal mereka, karena terlalu seringnya datang, menanyakan perkembangan kasus Maya.
“Kita semua berharap begitu, Mas. Kami sudah sebar informasi ke beberapa wilayah, dan juga memantau beberapa orang yang dicurigai Tapi...”
Hendra tak menyelesaikan ucapannya, tak tahu lagi harus bagaimana memberi pengertian pada Pak Malik dan Ibnu. Karena setiap kali mereka datang, jawaban yang sama selalu ia berikan.
Pak Malik menatap Hendra dengan sorot penuh tanya, nyaris putus asa. “Jadi, artinya... kalian belum dapatkan apapun?”
Hendra mengganggu. “Belum, Pak. Tapi kami tak akan berhenti. Hanya saja, kasus orang hilang seringkali memerlukan waktu lama.”
Pak Malik dan Ibnu, kehabisan kata. Harapan mereka punah, dihantam kenyataan pahit yang diterima setiap kali mencari keberadaan maya.
“Lama sampai kapan, Pak?” Ibnu mengusap wajahnya yang kusam.
Tidak masalah harus menunggu lama, asalkan ada kepastian. Dirinya tak mau hidup terombang-ambing dengan harapan yang menggunung, kemudian berderai dihempas kenyataan.
“Maaf, Pak Ibnu, saya belum bisa janji apa-apa. Tapi setiap ada perkembangan, kami pasti kabari, Pak Malik dan Pak Ibnu.” Hendra mengalihkan pandangan, menatap kosong ke arah dinding di depannya.
Tidak ada yang tahu, kapan orang hilang bisa ditemukan. Ada yang dua atau tiga hari, ada yang mingguan, bulanan, bahkan puluhan tahun. Lebih menyedihkan, tak jarang orang hilang ditemukan sudah tak bernyawa.
Ia tidak tega menyampaikan kabar ini pada Pak Malik dan Ibnu. Tidak mau membunuh harapan mereka yang masih bisa tumbuh.
Pak Malik menarik napas dalam-dalam. “Terima kasih bantuannya, Pak.”
Lelah, itulah yang dirasakan Pak Malik saat ini. Selain kesedihan yang menggunung, kecewa dengan hasil yang tak sesuai harapan, ia juga sangat lelah.
Tubuh, hati, dan pikirannya, seolah-olah tak bisa lagi menerima kenyataan pahit. Dengan rasa putus asa yang semakin menebal, ia mengajak Ibnu pulang.
Sepeda motor yang terparkir di halaman kantor polisi, mengingatkannya kembali pada Maya.
Motor keluaran terbaru, dibeli dengan mencicil, dikhususkan sebagai hadiah untuk putrinya yang selamat melahirkan bayi perempuan.
Namun, motor itu seperti pedang yang mengiris ulu hati. Selalu mengingatkannya pada Maya.
“Gimana, Pak? Apa ada kabar tentang Maya?”
Bu Malik menyambut kepulangan suaminya dengan pertanyaan yang tak pernah berubah. Namun, wanita itu menangis tanpa suara, saat melihat wajah kusut suami dan menantunya.
Ibnu menggeleng lemah. Wajahnya semakin suram. “Masih belum ada hasil, Bu.”
Ia menjatuhkan diri di sofa, menutup kesedihan dengan menarik napas berat. Suasana di ruang tamu semakin terasa suram.
Bu Malik menahan napas, kecewa. “Ya Allah... sudah berbulan-bulan, tapi masih belum ada titik terang juga. Kapan Maya bisa pulang?”
Suara wanita tua itu bergetar. Tangisnya sudah hampir di ujung mata, walaupun ditahan dengan susah payah.
Sementara itu, Pak Malik hanya menghela napas panjang, menatap istrinya dengan iba. Wajah lelahnya disembunyikan di balik senyum yang dipaksakan.