Surya meninggalkan Maya yang menangis sendirian di kamar, Dia tak perlu khawatir wanita bodoh itu melarikan diri dari rumah, ataupun berbuat sesuatu yang bisa merugikan mereka berdua.
Maya sudah sangat patuh. Dengan satu ancaman kecil saja, wanita itu akan menuruti semua perintahnya. Kini saatnya ia bersenang-senang.
Waktunya bertemu Nida.
Surya melajukan mobil menuju kafe, menjemput Annida yang selesai bekerja satu jam lagi. Perempuan yang mengisi hari-harinya hingga terasa sempurna, walaupun harus mengeluarkan sedikit uang.
Karena Annida pula, ia jadi melupakan obsesi kepada Maya dan membuat hubungan dengan Wina menjadi semakin dingin.
Selama ini Surya sering menemui Annida di luar tanpa sepengetahuan siapapun. Mereka memulai hubungan terlarang, mewarnai hari dengan kegiatan yang tak wajar. Ia menjemput Annida diam-diam, berusaha menghindari perhatian orang lain.
“Tumben lama, biasanya jam segini sudah keluar.”
Surya duduk di dalam mobil, menunggu Annida di pinggir jalan yang cukup jauh dari kafe. Dia mengetuk setir dengan jari, menciptakan irama yang cukup enak didengar, memperhatikan jalanan gelap dan sepi di sekitarnya.
“Lama banget,” Surya menggumam, tatapannya mencoba menyibak gelap di depan, hingga bayangan Annida muncul dari balik trotoar, berjalan cepat menuju mobilnya.
Surya menarik napas lega, segera membuka pintu, dan memasang senyum manis.
“Kamu lama banget,” keluh Surya saat Annida masuk ke dalam mobil.
“Aku harus nunggu temanku pulang dulu,” jawab Annida, sedikit tersenyum canggung. Tatapan Surya yang tajam membuatnya tak nyaman.
Entah mengapa, Annida merasa Surya sangat berbeda malam ini. Tidak tahu apa yang salah, karena semuanya terlihat biasa saja. Emosi yang sering lepas kendali, tatapan tajam yang seolah-olah ingin membunuh, dan kata-kata kasar yang sering terucap, semuanya tampak seperti biasa.
Surya menarik napas panjang dan tersenyum, mencoba sabar menghadapi Annida yang menurutnya kini sudah tak lagi menyenangkan. Ia menarik gas perlahan, melajukan mobil di bawah lampu jalan yang mulai redup.
Mereka tak memiliki tujuan pasti, hanya berkendara dalam keheningan yang penuh dengan ketegangan tersembunyi. Selama beberapa menit, tak ada yang mau bicara, hingga akhirnya Annida tak sabar dan memberanikan diri bertanya.
“Ke mau mana kita, Mas?”
Annida melirik gugup ke arah Surya yang fokus mengemudi. Pria itu masih tetap sama, terlihat tampan walau sedang menahan marah.
“Hanya jalan-jalan aja.” sahut Surya tak acuh. “Nikmati aja malam ini,”
Surya melirik sekilas dengan senyum tipis yang terasa asing di mata Annida. Andaikan wanita itu tahu, pikirannya saat ini penuh dengan rencana menyeramkan, mungkin mereka tidak berada satu mobil malam ini.
Rencana yang sudah tersusun rapi selama bertahun-tahun, baru bisa diwujudkan malam ini, dan harus berhasil.
Annida merapatkan jaket, merasakan hawa dingin masuk melalui jendela yang terbuka. Duduk manis, mengikuti ke manapun Surya membawanya, menyusuri jalanan yang kian sunyi dan semakin jauh dari pinggiran kota.
Ia menjadi cemas, mengapa mereka pergi sejauh ini? Jalanan yang semakin sunyi, rumah penduduk yang berjauhan, seperti menuju perkampungan.
“Mas, sudah malam banget. Kita pulang aja, ya?” Annida memohon dengan nada yang lembut.
Ia tahu, Surya tidak suka dibantah, tetapi lebih tahu lagi bagaimana cara membuat pria itu menuruti setiap permintaannya. Usia muda, wajah cantik, bentuk badan yang menantang iman, serta kehangatan ranjang, adalah senjatanya untuk membuat Surya bungkam.
“Kita masih punya banyak waktu, Nida,” jawab Surya sambil menambah kecepatan.