Surya bangun pukul delapan pagi, tetapi matanya masih terasa sangat berat untuk dibuka. Ponsel yang berdering di meja, ia abaikan sementara, karena mencium aroma makanan yang menggoda dari arah dapur, membuatnya lapar.
Ini yang bikin aku nggak mau lepasin Wina. Dia patuh dan tetap hormat sama aku.
Ia duduk di pinggir ranjang, mengumpulkan kesadaran yang belum penuh.
Jadi laper.
Surya menguap lebar, melakukan peregangan sebentar, kemudian beranjak ke kamar mandi. Mencuci muka yang terasa lengket, dan menggosok yang bau jigong
Setelah selesai, ia buru-buru menuju meja makan yang sudah sudah penuh dengan makanan hangat.
Pasti baru dimasak Wina. Masih hangat.
Surya akui, Wina memang istri yang baik. Tidak pernah menuntut walau hidup dalam keprihatinan. Sabar dan selalu mengalah, walaupun mereka bertengkar hebat, serta tak pernah lalai dari tanggung jawab.
Itulah sebabnya ia tak mau menceraikan Wina, walaupun istrinya kelihatan tua, dekil, dan tak terawat.
“Win, kamu di mana? Sudah sarapan belum? Sarapan bareng, yuk.”
Suara Surya menggema di seluruh penjuru dapur, tetapi tak ada sahutan. Niat sarapan tertunda, demi mencari istrinya. Ia mengintip ke pelataran dapur lewat jendela, siapa tahu lagi menjemur pakaian. Pergi ke ruang tamu, tetapi Wina tak berhasil ditemukannya.
“Win, kamu di mana, Win?”
Surya mengintip ke utama, rupanya Wina baru selesai menggosok baju. Wanita itu menoleh sekilas padanya, kemudian melanjutkan lagi menyimpan pakaian di lemari.
“Kamu sudah sarapan, Win?” Surya bersandar pada bingkai pintu.
Wina mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Enggan berbicara dengan Surya.
Bukankah rumah tangga seperti ini yang diinginkan suaminya? Sepi tanpa ada komunikasi.
Surya mendekat, melipat tangan di dada sambil menatap Wina dengan tajam. “Kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa, cuma capek aja,” sahut Wina datar, menunjuk ke setumpuk pakaian yang belum disimpan.
Surya diam sesaat, kemudian meninggalkan Wina sebentar dan kembali lagi dengan satu amplop tebal.
“Ini, buat belanja.” Surya menyodorkan amplop tebal pada Wina. "Sekalian ganti tabungan yang pernah aku pake dua bulan lalu."
Surya menunggu perubahan ekspresi di wajah Wina, berharap ada sedikit senyuman di sana. Namun, yang tampak justru tatapan tak percaya dan curiga dari istrinya.
“Banyak banget, Mas. dapat dari mana?” Wina meletakkan kembali amplop pemberian Surya ke tangannya.
“Ambil aja,” jawab Surya, sedikit memaksa. "Tabungan kita sudah habis, ini aku ganti. Sekalian buat belanja kamu."
Tak mau kalah, Surya meletakkan lagi amplop itu ke tangan Wina Berharap sekali lagi, Wina akan tersenyum bahagia. Karena biasanya wanita akan berubah jadi lebih ramah dan bahagia, kalau diberi uang banyak.
Wina menerima amplop itu dengan malas. "Aku mau kerja, Mas.”
Surya mengerutkan kening, melipat tangan di dada. “Kerja buat apa? Barusan aku kasih uang banyak, masak kurang? Kamu di rumah aja, jangan ke mana-mana.”
Belum sempat sarapan, tapi Wina sudah bikin otak panas. Sudah nggak cantik, badan gendut, muka nggak terawat, masih aja bertingkah.
“Aku bosan di rumah, seperti barang yang nggak pernah dihargai…” Wina tengadah, menantang tatapan Surya.
Kilatan di mata pria itu seolah-olah ingin menebas habis lehernya. Namun, untuk kali ini saja, ia harus berani melawan Surya.
Seharusnya mereka sudah memilih jalan masing-masing, agar terbebas dari belenggu rumah tangga yang mirip neraka. Namun, jika tetap ingin mempertahankan rumah tangga, hidup sebagai orang asing solusinya.
Surya mendesah panjang. Tak sabar menghadapi Wina. Jarang bertemu dan bicara, wanita itu sudah berubah perangainya.
"Buat apa kerja, kalau aku sudah cukup penuhi semua kebutuhan kamu? Kamu mau apa lagi?" Surya membuka amplop lain, menyerahkan uang tambahan. "Ini, kamu pakai buat belanja, perawatan, atau apa aja yang kamu mau."
Ia berlalu dari hadapan Wina.
Perut sudah berbunyi minta diisi, melayani Wina hanya menambah rasa lapar. Biarlah Namun, langkah kakinya terhenti, saat Wina lagi-lagi bersuara.
“Mas, uang ini dari mana? Kamu nggak kerja aneh-aneh, kan?”
Seingat Wina, suaminya hanya fokus mengurus kebun dan jadi keamanan di kafe, lantas dari mana uang sebanyak ini? Jika mengandalkan hasil kebun, rasanya tak mungkin juga secepat ini.