Maya sudah siap dan rapi untuk live streaming ketika Surya datang sambil menepuk-nepuk celana panjangnya yang berdebu.
Pria itu .memandang puas ke arah Maya. “Aku suka kaya kaya gini. Kamu makin pinter buat aku senang”
Pakaian super mini, dandanan yang tebal tapi tetap terlihat natural, semuanya sudah pas seperti yang ia inginkan.
Maya diam, dia cuma mengangguk tanpa suara. Antara ketakutan dan kebencian pada Surya, ia terjebak di tengah-tengahnya.
“Siang ini dapetin lebih, May.” Perintah Surya bagaikan orang tak berakal.
Ancaman demi ancaman, tekanan demi tekanan selalu ia berikan pada Maya. Hadiah digital harus mengalir, jika kurang dari pendapatan sebelumnya, ia tak akan segan memberikan hukuman.
“Kamu ngerti, kan, May?” Nada suara Surya meninggi.
Maya sama sekali tak memberi respon, dan ia tak suka diabaikan.
Maya akhirnya mengangguk. “Iya, Mas.”
Andaikan saja ia punya sedikit keberanian, mungkin tidak akan tunduk seperti orang bodoh. Namun, Surya memang kejam, tega menghabisi nyawa orang lain demi keangkuhan dirinya sendiri. Wajar kalau siapapun takut dengannya.
Tak ada ekspresi di wajah Surya, hanya tatapan tajam yang terlihat tak suka pada Maya.
“Malam ini, kamu layani Pak Joe. Dia sudah bayar mahal buat kamu.” Surya masuk ke kamar belakang.
Ia merapikan kembali tata letak kamar. Ring Light yang ada di sisi kanan ranjang, dipindahkan ke dekat pintu. Meja kecil yang dirasa mengganggu, dikeluarkan dan diletakkan dekat kompor.
“Malam ini, Saya nggak mau dengar alasan apapun, kecuali kamu lagi datang bulan, dan harus dibuktikan kebenaranya.” Surya mengingatkan sekali lagi, sebelum keluar kamar.
Masih ada waktu sepuluh menit, sebelum live streaming dimulai. Dia masih bisa bersantai sejenak.
Maya menelan ludah, tubuhnya gemetar mendengar ucapan Surya. “Mas, saya… saya nggak mau,” gumamnya.
Keberanian Maya terkumpul dalam sekejap, walaupun sedetik kemudian kembali berderai saat melihat Surya membelalakkan mata.
Surya tak bergerak, hanya wajah yang menegang, dan mata yang menatap Maya dengan tajam. “Aku juga nggak mau, May. Nggak mau mendengar penolakan!”
Ia menarik paksa ke ruang tengah, di sana ada Annida yang duduk meringkuk di sudut ruangan sambil memeluk kedua lutut. “Kamu bilang nggak mau?