Maya duduk di depan kamera, merapikan sedikit dandanannya yang luntur akibat menangis, dan rambut yang kusut, karena ditarik paksa oleh Surya. Ring light menyala, menyorot ke arah wajah dan pakaian yang terbuka di bagian bahu dan dada.
Di belakang ring light, Surya memberikan arahan agar Maya mulai bekerja. matanya menatap layar laptopnya, bersiap membalas setiap komentar di room live, dan menyalakan musik santai, mengiringi live streaming Maya.
Maya tak menjawab, hanya menarik napas panjang sambil memejamkan mata, lalu mulai tersenyum kecil ke arah kamera.
Ia menyapa manja semua penonton yang menonton. Suaranya dibuat selembut mungkin, diiringi desahan nakal yang dibuat-buat untuk membangkitkan syahwat lawan jenis. Tangannya mulai bergerak mengikuti irama musik yang diputar pelan, tubuhnya bergoyang dengan gerakan yang lambat tapi menggoda.
“Sayang-Sayang aku pada ke mana sih? Ini kantong hadiahnya masih kosong lo, nggak ada yang bantu menuhin gitu?”
Maya semakin menggila, memainkan lidah disertai kerlingan manja, dan dengan gerakan lembut, menyusupkan jari ke dalam baju. Meremas lembut dua gunung kembar yang menonjol keluar.
“Woo … buka donk, bajunya. Masak gitu doang, nggak seru banget!” Komentar penonton memberikan tantangan.
Maya berbisik manja, melirik ke layar sambil tersenyum memelas. “Kalau mau dibuka, nyawer dulu, Ganteng. Masak mau nonton gratisan aja. Tubuh aku bukan pemberian dinas sosial, mau dilihat gratisan.”
Walaupun diucapkan dengan selembut mungkin, tetapi kata-kata itu menohok si penonton yang membalasnya dengan kata-kata kasar dan hinaan sebagai perempuan murahan. Walaupun ada beberapa penonton masih ada yang berbaik hati, memberikan hadiah untuk Maya, dan membantu membalas komentar dari penonton tadi.
Di sela-sela live streaming, ia menyempatkan diri melirik ke arah Surya, khawatir pria itu marah dengan perbuatannya. Namun, saat melihat ekspresi Surya yang biasa saja, ia menarik napas lega.
Dua jam lebih Maya berdiri di depan kamera, menahan malu dan marah. Pelecehan dan hinaan yang mendarat begitu banyak untuknya, ditahan sekuat tenaga, walaupun sebenarnya mulut ingin berkata-kata kasar. Akhirnya pelecehan yang menyiksa itu selesai.
Ia bangkit setelah kamera dimatikan Surya. Keluar dari kamar dengan tubuh lelah, tak mempedulikan Surya yang memberinya tepuk tangan. ia bahkan tak membalas senyum yang Annida tujukan padanya.
Kamu membawaku ke neraka, Nida. Karena kamu, perbuatan tak senonohku dilihat orang banyak.
Ia masuk ke toilet mencuci wajah dan menyiram kepala, agar kemarahannya sedikit mereda.
Tuhan, sampai kapan seperti ini? Aku rindu Leah, rindu keluargaku, Tuhan.
Maya memukul air di dalam baskom, membiarkan bajunya basah terkena cipratan air. Ia ingin berteriak sekuat tenaga, meluapkan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang hampir membuatnya gila.
Ia keluar toilet, melihat Surya menyeringai penuh nafsu pada Annida. Namun, ia tak peduli, hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan semua adegan konyol Annida yang rela menjual tubuh demi cinta seorang pria jahanam.
“Kamu harus pinter kayak Maya. Jangan buka baju, kalau nggak dikasih hadiah. Lagian badan kamu masih penuh lebam, belajar merayu aja dulu.” Surya menyelipkan rambut Annida di balik telinga.
Jika diperhatikan, selain kejam Surya juga sangat culas. Pria itu pintar memanipulasi keadaan, dan mengubah karakter dengan cepat, sehingga banyak orang yang percaya dengan kepalsuannya.
Annida menatap Surya dengan penuh cinta. Senyum di bibirnya lebar, sedangkan kedua tangan merangkul pinggang pria itu tanpa rasa malu. “Kalau aku berhasil, Mas, kasih hadiah, ya?”
Surya mengangguk. “Kalau berhasil, kamu boleh tidur di kamar utama bareng aku.”
Surya mengarahkan Annida ke depan kamera, memberi isyarat untuk mulai bicara. Wajah sangarnya kembali ke mode palsu, di mana keramahan dan kebaikan hanya untuk membuat orang lain terpikat.
Annida lebih mudah dikendalikan. Cukup modal cinta, perempuan bodoh itu siap melakukan apapun padanya. Andaikan saja Maya seperti Annida, dia pasti lebih tenang. Sayangnya Maya tak pernah terpikat padanya, walaupun dia sangat menyukai Maya.
Annida menatap layar dengan ragu, tapi mencoba memaksakan senyum kecil. Sambil berusaha mengatur suara, ia mulai berbicara dengan lembut ke arah kamera, seperti yang dilakukan Maya.
Aku harus lebih baik dari Mbak Maya. Mas Surya pasti lebih milih aku, daripada Mbak Maya!
Kalimat yang sama, diucapkan Annida berulang kali, menumbuhkan keberanian diri live streaming tak senonoh demi mendapatkan perhatian Surya.
***
Rintik hujan terdengar mendayu di telinga Maya, menumbuhkan harapan baru, semoga pria hidung belang yang menginginkan tubuhnya, gagal datang.
Ia duduk berdampingan dengan Annida di sofa tua ruang tamu. Penerangan ala kadarnya, membuat suasana terasa suram, ditambah dengan terciptanya tembok tinggi tak kasat mata antara mereka berdua.
“Mbak, Mas Surya ke mana, ya? Katanya aku boleh tidur bareng dia malam ini.” Annida melirik Maya, membuat suaranya terdengar manja, memancing reaksi wanita itu.
Dalam hati, ia ingin melihat Maya terus dibenci Surya. Beranggapan wanita itu adalah musuhnya.