Hampir tengah malam Surya tiba di rumah kebun bersama Pak Joe. Pria itu lumayan tampan, rambut yang masih menghitam dan badan berisi, tidak memperlihatkan usianya yang sudah lebih dari kepala empat.
Cuaca masih hujan gerimis dan berangin, lampu rumah juga sudah padam, tetapi mereka tetap datang.
“Gelap, Sur,” ujar Pak Joe seraya memandang ke sekitar.
Bayangan pohon besar, meliuk-liuk tertiup angin. Taman bunga di halaman, cukup terawat walaupun rimbun, dan tanaman singkong yang berderet rapi, seperti barisan pagar kayu yang hampir roboh.
Rumah di tengah kebun ini cukup bagus, walaupun sederhana tetapi cukup asri. Andaikan direnovasi, diberi penerangan memadai, serta kebun luasnya dikelola dengan baik, bisa jadi sumber daya besar.
Nggak apa-apa, Pak. Bisa dibangunkan,” sahut Surya santai.
Ia membuka pintu, masuk lebih dulu sambil meraba-raba dinding mencari saklar lampu.
Ruang tamu menjadi lebih terang, walaupun hanya remang-remang. Ia memandang ke sekeliling, memastikan seluruh rumah sudah bersih dan rapi.
Maya memang amanah, pandai mengatur rumah.
Ia meletakkan beberapa kantong plastik berisi makanan di meja. Empat bungkus nasi padang, dua botol air mineral ukuran besar, dan beberapa tusuk sate, serta telur rebus yang dibelikan Pak Joe untuk mereka semua.
Di kantong berbeda terdapat beberapa kaleng bir dan dua bungkus kacang kulit.
“Bapak, duduk dulu, saya panggilkan Maya dan Nida. Nanti Bapak tinggal pilih aja mau yang mana. Harga bisa kita nego ulang.”
Surya tersenyum ramah dengan sedikit membungkuk, meninggalkan Pak Joe yang mengamati setiap inci ruang tamu.
Pak Joe hanya mengangkat kedua alis, duduk di sofa dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Surya memang mucikari yang bagus. Pantas saja mengajaknya ke rumah kebun, ternyata ada perempuan lain yang tak kalah cantik dari Maya. Bayarannya juga bisa disesuaikan, dan bisa nego harga.
Sementara itu, di dalam kamar, Surya membangunkan Maya dan Annida dengan mengguncang bahu keduanya.
“Bangun, di luar ada Pak Joe. Dia beli banyak makanan buat kalian,” ucapnya tegas.
Maya membuka mata perlahan, memandang samar pada sosok Surya yang berdiri di samping ranjang. Saat pandangannya semakin terang, cepat ia bangun dan duduk dengan posisi tegak.
Rambut pria itu basah, tetapi bajunya masih kering, hanya ada sedikit jejak air hujan di sana.
“Bangunkan Nida, ajak makan bareng,” ujar Surya. “Buruan jangan buat Pak Joe nunggu lama.