Maya sama sekali tak berselera. Nasi dengan kuah rendang dan ayam panggang, sama sekali tidak terasa nikmat. Tak ubahnya seperti duri yang menusuk tenggorokan sampai ke hati.
Dipaksa melayani pria yang tak pernah dikenal demi uang lima juta, di mana lagi harga dirinya?
“Sudah selesai, May?” tanya Pak Joe tidak sabar. Maya makan terlalu lama, dan syahwatnya sudah di ujung tanduk.
Maya menoleh dan mengangguk pelan. Ia mendorong nasi yang masih tersisa banyak, karena baru dimakan beberapa suap.
“Langsung ke kamar belakang, Pak.” Maya berdiri, hendak ke dapur, mencuci tangan sekalian bersiap melayani Pak Joe di kamar belakang. Namun, gerakannya terhenti, saat Surya juga ikut berdiri.
“Layani dia baik-baik. Pelanggan pertama, jangan sampai kecewa,” bisik Surya.
Maya hanya mengangguk pelan, tanpa melihat ke arah Surya ataupun Annida. Entahlah, hatinya sudah mati rasa dengan semua orang.
“Ayo, May.” Pak Joe menggamit lengan Maya, kemudian menggiringnya ke kamar belakang.
Waktu sudah lewat tengah malam, dan ia tak mau melewatkannya dengan percuma. Uang lima juta bukan jumlah yang sedikit jika hanya dapat melakukan dua kali goyangan panas.
Sekali lagi Maya hanya mengangguk. Ia tak mau bicara, bahkan pada dirinya sendiri. Ia bahkan tak merespon, saat Pak Joe meremas pundaknya berkali-kali.
“Masuk ada dulu, Pak.” Maya membuka pintu kamar, setelah itu ia ke dapur mencuci tangan, sengaja berlama-lama, menguatkan hati agar tak menangis.
Sekitar lima menit, Maya di toilet. Mencuci tangan dan wajah berkali-kali, hingga akhirnya ia keluar dari sana dengan kedua tangan terkepal erat. Langkahnya goyah masuk ke kamar, tempat kehormatan direnggut.
Ia terpaku di depan pintu. Di ranjang, Pak Joe berbaring tanpa busana, menyambut kedatangannya dengan kedua tangan terentang lebar.
Sementar itu, di ruang tamu, Annida mendekati Surya tampak serius memantau layar ponsel. Sesekali pria itu bergerak dengan gelisah disertai desahan pelan dari mulutnya.
“Mas, kamu lagi lihat apa sih?” tanya Annida dengan suara menggoda.
Ia mencoba mengintip ponsel Surya, tetapi tatapan tajam pria itu membuat niatnya berderai seketika.
Namun, bukan Annida namanya, jika harus menyerah. Dengan gerakan perlahan, ia mengusap paha Surya, membuat desahan yang keluar dari mulut pria itu semakin keras.
Tanpa sadar, Surya membuka pahanya lebar-lebar, tangan kanan yang memegang ponsel terkulai di sofa, menyebabkan layarnya yang terang benderang bisa dilihat Annida dengan jelas.
Di sana, terlihat adegan tak senonoh antara Maya dan Pak Joe.
Rupanya sebelum pergi keluar tadi sore, Surya menyempatkan diri memasang kamera kecil yang dihubungkan ke ponsel.
“Masak cuma nonton aja sih, Mas. Kita juga kayak gitu, yuk.” Annida mendesah manja, sementara tangannya semakin berani meraba tempat terlarang Surya.
Tubuhnya semakin rapat, menggoda Surya yang mulai dibakar gairah.
“Nida, berhenti. Aku harus kerja.” Kata-kata Surya tak sesuai dengan reaksi tubuhnya.
Napas yang memburu, mata yang terpejam, dan desahan yang keluar walaupun coba ditahan, menunjukkan dia telah kalah dengan godaan Annida. Mencoba menahan diri, dengan menggenggam tangan Annida yang merayap semakin jauh ke dalam bajunya.
“Mas, kamu udah janji, malam ini kita tidur bareng,” goda Annida lagi. “Aku kangen lo, Mas.”
Mata Annida menatap sayu, adegan panas di ponsel membuatnya terbakar. Betapa ganasnya Pak Joe melahap tubuh Maya yang terbaring kaku seperti batang pisang.
Ia ingin merasakan sensasi seperti itu, persetubuhan panas seperti yang pernah dilakukannya bersama Surya beberapa waktu lalu.
Surya memejamkan mata. Hasrat bercinta hampir membuatnya gila. Tanpa menjawab semua ocehan Annida, ia menarik tangan wanita itu, dan membawanya ke kamar.
Namun, saat di kamar, Annida sempat terdiam selama dua menit. Mengamati isi kamar utama yang lebih baik dari kamar Maya.
Kasur di kamar utama lebih tebal dan empuk, di sana juga ada satu televisi, dan dua buah kipas. Entah masih bisa menyala atau tidak, tapi yang pasti, kamar itu masih jauh lebih dibandingkan kamar Maya.
***