Surya melirik layar ponsel yang terus-menerus bergetar, pemberitahuan pesan dari banyak pelanggan, datang silih berganti. Kamar belakang yang semula digunakan untuk istirahat, kini berganti menjadi tempat mengelola bisnis gelap berkembangnya pesat selama delapan bulan terakhir.
Hasil menjual Maya dan Annida kepada pria hidung belang, memberikan lebih banyak uang, karena hampir setiap malam ada saja bos-bos besar yang rela menghamburkan uang demi kedua perempuan murahan itu.
Namun, tidak hanya bisnis prostitusi, penyediaan video porno juga banyak peminatnya, walau sering sebagian pelanggan mengeluhkan pemeran wanitanya hanya itu-itu saja. Beruntungnya, sebagian pelanggan mengerti, mereka tahu video itu bukan adegan settingan, tapi nyata yang direkam secara langsung.
Banyak banget pesan masuk.
Dua buah ponsel dan dua laptop, berderet rapi di meja kayu. Layarnya yang terang, memperlihatkan gambar digital berupa bukti transfer dari pelanggan.
“Kirim cuplikan video hotel Pinus dan rumah kebun, Bos.” Pesan dari pelanggan lama.
“Ok, Bos.” Surya mengirimkan balasan, lengkap dengan dua video singkat yang diminta.
Ponsel lain berdering, mengirimkan bukti transfer disertai pesan “Video lawas, Bos. Judulnya Malu-Malu Mau.”
Surya tersenyum lebar, sigap membalas pesan dan mengirimkan video yang diminta.
Ia memang sengaja memberikan judul tak terlalu vulgar, agar setiap videonya tak terdeteksi sistem. Bahkan demi keamanan dan kenyamanan, ia membuat grup untuk pelanggan setia.
Bisnis lendir kayak gini, emang cuan. Surya menyandarkan tubuh ke kursi sambil membalas banyak pesan.
Semua usahanya berjalan lancar, termasuk prostitusi. Sudah sejak dua bulan lalu, ia berani mengantar Annida dan Maya ke hotel, tetapi dengan cara bergantian. Tak berani melepas keduanya secara serentak, khawatir salah satu dari mereka ada yang kabur.
Annida masih bisa dipercaya, tapi Maya … dia perempuan yang keras dan selalu punya rencana kabur.
Ada yang baru, Bos? Butuh yang segar nih.”
Pesan baru yang membuat senyum Surya menjadi semakin lebar.
“Video atau orang nih, Bos? Kalau video ada dua, kalau ayamnya, masih sama yang kemaren.”
“Lihat cuplikannya aja dulu, kalau cocok, langsung transfer.”
Kembali Surya mengirimkan dua video baru pada pelanggan, setelah itu berganti pada ponsel yang satunya lagi. Khusus melayani permintaan perempuan malam.
“Bro, yang segar dan muda nggak ada? Stock lama terus bro, bosen nggak ada pilihan lain.’
Pesan singkat itu dikirim dari kemarin. Pelanggan yang jarang memesan, tetapi setiap kali memesan tak segan memberikan uang tips yang banyak.
“Masih sama, Bos, belum ada barang baru.” Balas Surya cepat.
Ia mendesah pelan. Delapan bulan menjadi mucikari, pelanggannya selalu meminta barang baru. Maya dan Annida, jelas tak bisa memenuhi permintaan pelanggan. Lagipula kasihan mereka berdua, harus melayani pria hidung belang, siang dan malam.
Namun, ia masih belum menemukan perempuan yang cocok. Banyak perempuan yang ditemukannya, tak ada yang seperti Annida yang mudah dimanipulasi, dan penurut seperti Maya. Kebanyakan dari perempuan yang ditemuinya, keras kepala, arogan, dan suka jual mahal.
Aku harus cari tambahan. Perempuan mana yang nolak dikasih enak. Cari lonte aja, nggak usah perempuan rumahan.
Senyum tipis menghiasi wajah Surya. Pikiran mencari perempuan malam sebagai mangsa, muncul begitu saja. bergegas ia berkemas, menutup laptop dan memasukkan ponsel ke dalam tas selempang kecil yang selalu dibawanya setiap keluar rumah.
Hari sudah mulai gelap, terburu-buru ia berganti pakaian, menyemprotkan minyak wangi, dan menyisir rambut yang sudah diberi pomade. Rencananya, sebelum mencari mangsa baru di warung remang-remang atau di diskotik, ia berencana mencari remaja lugu dan wanita polos yang seringkali bersantai di taman.
“Malam ini harus dapat,” gumamnya seraya melangkah keluar kamar.
Di ruang tamu, Wina memperhatikan Surya yang tampak berbeda. Aroma parfum yang lembut dan dandanan Surya yang terlalu rapi, seolah-olah ingin bertemu dengan kekasih, membuatnya curiga.
“Mau ke mana, Mas? Nggak betah banget diam di rumah,” ujar Wina, tangannya terampil merajut benang wol menjadi sepasang kaos kaki bayi, pesanan tetangga.
Wina menghela napas. Andaikan benar Surya memiliki wanita idaman lain, ia akan menuntut cerai. Surya jarang di rumah, selalu sibuk dengan kebunnya. kalaupun pulang tak pernah betah, paling hanya semalam, dan pergi lagi keesokan harinya.
Rumah tangga mereka sudah sedingin salju, kebersamaan sebagai suami istri bisa dihitung jari, dan obrolan mereka hanya sekadar bertanya kabar, seperti orang asing yang baru saling mengenal
“Ketemu temen yang nawarin kerja sama,” sahut Surya singkat.
Ia duduk di depan pintu, memakai sepatu yang paling bagus, kemudian pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Wina.
Ia berdiri sebentar di dekat mobil, merasakan udara malam yang segar.
Sementara itu, Wina sama sekali tak peduli lagi dengan kepergian Surya. Prinsip hidupnya kini, selama diberi duit, ya sudah. Terserah mau apa di luar sana. Mau punya pacar baru, atau istri sampai sepuluh, ia sudah tak peduli, asalkan jangan terlihat di depan mata saja.
Mobil Surya melaju tenang menyusuri jalan kota, berkeliling di beberapa tempat kumpul para remaja.
Ia masuk ke taman kota, di mana ada banyak pedagang menjual makanan murah meriah, dan menjadi tempat wisata kuliner warga kota. Di tempat ini, selain orang tua, juga banyak anak-anak muda yang berburu makanan murah.