Di Balik Pintu Jahanam

MR Afida
Chapter #26

Kita Semua Korban

Suara kunci pintu depan yang terbuka, terdengar di telinga Maya yang kebetulan berada di dapur, mengambil air minum. Ia tak tahu sekarang sudah pukul berapa, tetapi pastinya sudah larut malam. 

Ngapain Surya tengah malam ke sini? Bawa pelanggan? Tapi aku dan Annida lagi halangan.

Ia keluar dari dapur, hendak kembali tidur. Namun, langkahnya terhenti melihat Surya memapah seorang wanita. 

“Kamu, bantu bawa dia ke kamar,” ujar Surya, saat Maya hanya berdiri di depan pintu kamar.

Maya mendekat, membantu membawa Tantri ke kamar belakang. Tak bertanya apapun, karena tahu wanita itu pasti korban Surya yang baru.

“Kamu jaga dia! Ajarin yang bener, jangan sampai coba-coba kabur.”

Surya keluar kamar, meninggalkan Maya yang menatap iba pada Tantri. Beberapa menit kemudian, wanita itu kembali mendengar pintu depan dikunci dari luar. 


***

Maya terjaga lebih awal. Entah pukul berapa, tetapi yang jelas di luar sana masih gelap gulita. Tak Ada sedikitpun cahaya yang masuk ke rumah, bahkan kicau burung yang biasanya riuh, tak terdengar. Hanya ada suara gesekan daun yang terkena hembusan angin pagi 

Dari semalam dia tak sadarkan diri. Kasihan. 

Ia meraba dahi Tantri, khawatir terkena demam, tapi syukurlah ternyata tidak. Hanya bagian dahi saja yang terlihat memar dan benjol.

Entah seberapa keras, Surya memukulnya.

Ia beranjak dari ranjang, bersiap-siap memasak bubur yang ditambah dengan garam, penyedap rasa, dan sayuran sisa sarapan. Cukuplah untuk sarapan mereka bertiga di tempat ini. 

Sebagai orang yang paling lama berada di tempat ini, Maya merasa bertanggung jawab pada semua korban Surya. Terutama pada setiap wanita yang baru datang. Mereka pasti tidak tahu cara bertahan hidup di neraka ini.

Harusnya Surya menyiapkan banyak bahan makanan. Tapi laki-laki jahanam itu sama sekali tak peduli dengan perempuan-perempuan yang dibawanya ke sini. Dia cuma tahu, kami semua ngasilin duit!

Maya menatap sayu ke arah sayur kangkung dan sawi yang dipetik Surya kemarin sore. Masih segar, tetapi sama sekali tak menggugah selera. Ia menarik napas panjang, mengambil segelas beras dari karung kecil yang tinggal sedikit.

Semangat, May. Kamu di sini sudah satu tahun lebih. Masalah seperti ini, kecil buatmu. 

Sekali lagi ia menarik napas dalam-dalam. Memasak dalam diam, menatap hampa pada beras yang terendam air.

Kadang kala, sering ia merindukan kehadiran Pak Joe. Banyak pria yang memakai tubuhnya, hanya Pak Joe yang paling pengertian dan paling royal. Selalu membelikannya dan Annida makanan walau tidak diminta, dan memberinya uang tips yang banyak walaupun semua uang itu diambil oleh Annida.

Jadi pengen makan ayam bakar.

Ia menghela napas. Mengambil dua piring dan satu mangkuk, serta dua gelas air, untuk dibawa ke ruang tengah.

“Mbak, siapa itu yang di dalam kamar belakang?” Annida tiba-tiba saja sudah berada di dekat Maya.

Maya menoleh, piring dan gelas di tangannya  hampir terlepas. “Korban baru Surya.”

Di rumah ini, ia memang paling malas bicara. Kalaupun harus bicara, hanya seperlunya saja. Menurutnya saja.

Semua orang di rumah kebun ini, sama saja. Surya, semua laki-laki hidung belang yang datang, dan Annida.

Ya … menurut Maya, Annida perempuan bermuka dua. Setiap kata-katanya, setiap kebaikannya bagaikan mata pisau yang siap menusuk.

“Korban baru Surya? Kapan datang?” tanya Annida lagi, kali sambil membantu Maya menyiapkan sarapan.

Pukul berapa Surya datang semalam? Apakah dia sudah tidur dengan perempuan di kamar? Atau dia dilayani oleh Maya?

Wajah Annida berubah masam. Pikiran buruk, takut kehilangan kasih sayang Surya membuatnya bertingkah kekanak-kanakkan.a

Maya mematikan kompor, mengangkat panci berisi bubur, diikuti dengan Annida yang membawa peralatan makan.

“Semalam, nggak tau jam berapa,” sahut Maya tak acuh. “Jangan khawatir, Surya di sini cuma sebentar, ngantar korban barunya yang pingsan.”

Tak ada senyum ataupun raut marah di wajah Maya. Ia sudah terbiasa dengan kecemburuan Annida yang menurutnya sangat bodoh.

Untuk apa Annida cemburu, jika Surya tak pernah menganggapnya ada? Buat apa mencintai pria yang jelas-jelas menganggapnya murahan?

Aaah, Annida, entah disimpan di mana otaknya.

“Serius kamu, Mbak?” tanya Annida lagi, dan kali ini dibalas dengan anggukan pelan Maya.

“Liat aja jidat perempuan itu, ada benjol dan memar. Kalau nggak dipukul Surya, dipukul siapa lagi?”

Annida tersenyum puas. Setelah meletakkan sendok, ia merangkul Maya dengan erat. “Namanya siapa, Mbak?”

Entah mengapa, walaupun cemburu pada Maya, tetapi Annida tak bisa memusuhinya. Wanita itu terlalu lembut dan penyayang. Di rumah ini, Maya adalah sosok orang tua yang mengayomi dan selalu memberi maaf, walaupun berulang kali ia sakiti.

“Namanya Tantri.” jelas Maya. “Sarapan dulu, nanti baru dibahas lagi.

Maya menyerahkan piring kosong pada Annida, membiarkannya menyendok bubur terlebih dulu. 

Lihat selengkapnya