Maya memandang Tantri dengan iba, benjolan di dahi sebesar bola tenis semakin membiru, sedangkan luka goresan di telapak tangan, serta memar di bagian tumit, baru tampak di matanya pagi ini.
Surya memang tidak punya hati.
Maya menghela napas kasar. Luka-luka Tantri harus segera diobati.
“Kamu istirahatlah dulu di kamar tengah. Itu nanti jadi kamar buat kita bertiga tidur. Kamar belakang, khusus untuk ngelayani tamu.”
Maya membantu Tantri berdiri dan membimbingnya ke kamar tengah. Sekali lagi ia menghela napas berat.
Pakaian Tantri sobek di beberapa tempat, dan pastinya wanita itu tidak membawa baju ganti. Ia mengambil baju dan pakaian dalam di lemari.
“Sebelum istirahat, kamu bersihkan badan dulu dan ganti baju. Pake aja ini, dan jangan cerewet. Di rumah ini, semua harus kita pakai dan makan bersama.”
Maya keluar kamar, tetapi di ambang pintu, ia berbalik, menoleh pada Tantri lagi. “Aku siapin air hangat buat kompres memar kamu.”
Di rumah ini, semua benda memang harus dipakai bersama, termasuk pakaian dalam. Tidak ada istilah milikku dan milikmu, karena semuanya memang harus dipakai bersama karena keterbatasan.
Surya membelikan pakaian dalam dan baju untuk sehari-hari, dengan jumlah yang bisa dihitung jari.
Maya menuju dapur, menyalakan kompor dan memasak sedikit air untuk Tantri sambil merapikan barang-barang. Mengelap debu yang menempel dengan serbet yang dibuatnya dari sisa pakaian dinas yang sudah robek.
Dari arah pintu, Annida datang dengan wajah ditekuk. Berdiri di samping Maya sambil menarik-narik ujung baju wanita itu.
“Mbak May, jangan banyak-banyak ngasih perhatian ke Mbak Tantri,” ujarnya sambil menggoyang-goyangkan badan, seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Maya menatap Annida dengan wajah datar. “Kondisi Tantri lagi nggak bagus, Nida. Kamu bisa lihat benjolan sebesar telor ayam di keningnya? Kalau kamu kayak gitu, Mbak pasti juga ngurusin kamu.”
Aaah, Maya merasa selama satu tahun lebih di sini, ia sudah menjadi orang yang berbeda. Dirinya yang dulu paling dimanja, kini berbalik harus memanjakan.
Annida sumringah. “Aku beres rumah ya, Mbak.”
Tanpa diperintah, ia mengambil satu kain lap bekas baju dinas Annida yang biasa dipakai untuk mengepel.
Sejujurnya, Annida sangat kagum pada Maya. Di tengah keterbatasan hidup, wanita itu masih mampu memberi kasih sayang dan perhatian pada orang lain. Dia juga sangat kreatif, bisa memikirkan membuat beberapa kain lap dari sisa baju, agar rumah tetap bersih.
Maya tersenyum. “Lusa Pak Joe pulang dari luar kota, Dia janji belikan Mbak ayam goreng dan rendang daging. Nanti bagian paling besar, Mbak berikan buat kamu.”
Satu hal yang paling Maya sukai dari Annida, sifatnya yang suka membantu, walaupun sedikit egois.
Senyum di wajah Annida semakin lebar. Tanpa bicara lagi, ia pergi ke ruang tamu, mengelap semua benda dan lantai agar tak berdebu, kemudian melanjutkannya kebagian yang lain.
Hatinya berbunga-bunga, membayangkan selama beberapa hari ke depan, mereka bisa makan enak. Karena Pak Joe yang sangat royal, selalu membelikan banyak makanan dan lauk atas permintaan Maya.
Maya menyimpan semua lauk yang dibelikan pria itu, dan memanaskannya berulang kali, untuk mereka makan sampai beberapa hari ke depan.
Sementara itu, Tantri yang baru sampai di dapur, langsung masuk ke toilet, mengamati semua peralatan mandi yang serba minimalis. Sabun batangan, sabun cuci, sampo, pasta gigi, dan … satu sikat gigi yang harus mereka pakai beramai-ramai.
Ia sedikit jijik, tapi mau bagaimana lagi, daripada tidak sikat gigi.
Selesai membersihkan diri, ia kembali ke kamar, dan menemukan Maya sudah siap dengan air hangat di panci kecil.
“Aku sendiri aja, Mbak.” tangan Tantri terulur mengambil lap kecil dari tangan Maya. Dengan hati-hati, ia mendekap lukanya dengan lap basah.
“Pelan-pelan,” ujar Maya, seraya mengambil salap di laci meja. Satu-satunya obat yang diberikan Surya.
Tantri tersenyum tipis. “Sudah biasa kaya gini, Mbak.”
Tantri memutar badan, memperlihatkan punggungnya yang terdapat tanda bekas cambukan.
“Aku pelacur, jual diri secara mandiri di diskotik. Kadang kalau lagi apes, bisa dapat pelanggan yang sadomasokis.” Senyum Tantri berubah jadi tawa lirih. Mengenang kerasnya cara ia bertahan hidup di kota.