Seharusnya ini menjadi masa liburan yang cukup panjang bagi para mahasiswa. Satu bulan, kurang lebih. Itu akan jadi masa-masa paling menyenangkan bagi beberapa orang, masa paling gabut bagi sebagian orang lain dan masa untuk mengumpulkan pundi-pundi uang bagi sebagian yang lain lagi.
Saka, dia yang menekuni bidang kepenulisan sejak awal SMK berlanjut sampai lulus, ditelpon oleh seorang teman ketika pagi itu sedang bingung-bingungnya memikirkan ide baru.
"Nanda" Nama itu tertera di layar ponsel dan Saka segera mengangkatnya.
"Apaan?" Biasa, seorang sahabat dekat tak perlu banyak basa-basi.
"Jalan-jalan, yuk, bareng temen-teme. Nginep." jawab Nanda di seberang telpon. "Udah lama juga aku gak ketemu kamu."
"Bicara biasa aja apa gak bisa? Omonganmu bikin aku merinding," sewot Saka. "Ke mana emang?"
"Ungaran. Enak tuh, di sana suasananya masih adem."
"Berapa orang?"
"Kalau kamu ikut, berarti udah lima orang. Ada Tama juga."
"Tama anaknya pak RT?" Saka memastikan. Dipikir-pikir, terakhir kali ia bertemu Tama waktu wisuda SMK. "Emang dia gak kerja? Udah balik dari Surabaya?"
"Cuti, katanya. Bohong atau beneran gak tahu. Kamu tahu kan omongannya kadang agak kacau. Sekarang ngomong A, kenyataannya B, besok bilang C."
Saka terkekeh menanggapi candaan itu. Memang benar, Tama adalah tipikal orang yang—bukannya tak pantas dipercaya—hanya saja bercandanya yang suka bohong itu kadang bikin jengkel.
"Gimana, deal?"
"Boleh, kapan?"
"Tiga hari lagi, aku udah pesen dari dua hari lalu," jawab Nanda. "Oh iya, kamu ajakin temen cewek bisa gak? Ini ada temenku yang ikut, bawa pacarnya, tapi masa cewenya satu doang. Kan agak sus ya."
"Emang kita mau ke mana sih?" Saka lupa tak menanyakan itu sejak dia menerima telpon dari Nanda. "Berapa hari?"
"Di villa, tiga hari kira-kira."