Reza Pov
Aku yang kebingungan bercampur panik mau tidak mau menyerahkan kotak bekal yang masih utuh kepada Handi. Aku tahu bahwa apa yang dilakukan diriku ini terbilang tidak menghargai usaha istri, tapi akan lebih tidak menyenangkan jika aku membawa kotak bekal yang masih utuh saat sudah tiba di rumah. Lebih parahnya, istriku mengetahui jelas jika aku tak menyantap masakannya hingga tandas.
"Lho, kok engga Bapak sendiri yang makan? Memang masakan Bu Dina engga enak?" Handi menanggapi ujaranku dengan tatapan penasaran tertuju ke arahku.
"Saya sudah makan tadi di restoran. Bukan engga enak, tapi saya lupa kalau ada bekal yang dia bawakan." Aku memperjelas alasan mengapa diriku meminta Handi untuk melahap makan siang yang seh6arusnya diperuntukkan untukku itu.
Mendengar alasan yang terlontar, Handi pun mengangguk, seolah memahami maksud yang ada di pikiranku. Lalu, ia berujar, "Oh gitu. Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi terlebih dahulu."
Dalam beberapa detik, pegawaiku yang berkulit sawo matang itu melangkah keluar dari ruangan. Sedangkan, aku masih memikirkan kelanjutan dari pertanyaan Dina saat nanti aku tiba di rumah. Namun, semakin aku memikirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja dilontarkan oleh istriku itu, pikiranku semakin kacau.
Maka dari itu, aku memutuskan untuk menghubungi Defan, sahabatku yang baru saja pulang dari luar negeri. "Iya, Rez? Ada apa?" Suara bass milik sahabat lamaku terdengar setelah menanti panggilan terhubung sekitar lima menit lamanya.
"Aku lagi butuh solusi, Fan. Kamu lagi senggang 'kan?" Aku langsung mengutarakan maksud tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Yah, supaya lebih menghemat waktu.
"Iya, aku senggang. Mau ketemuan?" Defan menanggapi sekaligus menawarkan.
"Engga. Lain kali saja. Aku butuh solusi singkat kok, mengingat masalahnya juga engga begitu besar." Aku memutar bola mata sembari membuka korden yang menutup jendela ruanganku. Dengan pemandangan tengah kota yang diwarnai dengan aktifitas jalan raya, aku memegang ponsel sembari berdiri santai di depan jendela
"Masalah? Kamu berantem sama Dina?" Defan kembali bertanya dan menerka maksud dari kata masalah yang aku sebutkan.
"Bukan, tapi aku yang berulah," jelasku sembari menggaruk leher dengan tatapan ragu.
"Coba ceritain gimana lengkapnya, Rez," pinta Defan singkat.
End of pov
-**-
Sesuai dengan permintaan dari sahabat lamanya itu, Reza mulai menjabarkan cerita dirinya yang mendua secara diam-diam di belakang Dina, istri sahnya. Lalu, Defan yang cermat berkomentar setelah cerita itu usai, "Yah, kamu juga ngapain mendua, Bro. Kalau kaya gini, kamu sendiri yang pusing 'kan."
"Aku jenuh sama Dina. Dia terlalu belain kerjaannya. Maka dari itu, aku main sama Naffa, sekretarisku sendiri, tapi baru beberapa bulan kok." Reza menekankan alasan mengapa dirinya mendua. Selain itu, ia berujar seolah bukan dirinya yang berada di posisi yang bersalah.
"Hah, tetap saja engga begitu semestinya. Kalau kamu takut ketangkap basah sama Dina, mendingan kamu sudahi hubunganmu sama Naffa, Bro." Defan menyarankan dengan nada kesal terselip.