Di Balik Senja

Kepo Amat
Chapter #1

Senyum Semu

Pengertian yang sulit untuk aku jelaskan, pemaknaan dari setiap kata yang kusampaikan secara lamban. Hingga pada akhirnya melahirkan arti ganda berujung kesalahpahaman yang menyakiti diriku, dirimu, dan mereka.

Letih batin ini terus ingin meminta jeda, memutar kembali semua ingatan tentang masa abu-abu. Layaknya kaset rusak yang terkena virus. Tak ingin kudengar, tetapi terus terputar. Membiarkannya bercerita, mengulang masa SMA. Ingin aku melupakannya, menempa hidup ini lebih kuat untuk jauh dan melupakan mereka.

Kugoreskan tinta hitam ini pada lembaran-lembaran buku catatan mata kuliahku. Pena berjalan sesuai kehendak, meninggalkan bekas bersama dera luka yang menghantam kuat dalam dada. Kutuliskan beserta sakit dan luka yang tak kunjung sembuh. Menyembunyikannya dari mereka yang bertanya, ‘apa kau baik-baik saja?’

Nyeri di dada kutahankan. Tangis di hati kudiamkan. Lelah tubuh ini kesakitan. Akan hancur jiwaku yang meradang ....

Kalian pikir aku baik-baik saja! Apa aku terlihat baik-baik saja?

Bisakah berhenti mengenalku? Atau aku lampiaskan seluruh rasa kesalku. Sakit jika terus begini, membuang egoku hanya untuk menjaga perasaan kalian yang hanya tahu sisi ramahku, tanpa tahu sisi rusakku.

Kerongkonganku tercekat, dadaku terasa koyak. Situasi dan keadaan waktu itu tak memintaku untuk menjelaskan. Meninggalkan kalian dengan cara seperti ini, terpisahkan antara jarak dan keadaan yang berbeda.

Meninggalkan gadisku yang selalu menjadi teman sekaligus pengganggu di masa putih abu-abu. Gadis dengan senyum manis dan tingkah aneh, penebar kedamaian dalam jiwa orang lain. Gadis yang selalu dicari jika ia menghilang. Gadis yang selalu berarti dalam hidup kawan-kawannya. Gadis yang sengaja menutupi kedewasaannya dengan sikap kekanak-kanakan.

Apa aku harus menyalahkan diriku sendiri? Menyalahkan dunia yang fana ini? Atau takdir yang salah?

Menyadari perasaanku bersamaan dengan runtuhnya duniaku, ketika harus di hadapkan oleh realita tentang kehilangan ibu dari orang tuaku untuk selamanya. Menamparku dengan keras bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal selain Sang Pencipta.

Bisakah aku berdamai dengan penderitaan atau berdamai dengan kehilangan?

Sampai tiba waktunya, mungkin aku harus berdamai dengan semesta atau lebih baik aku mati saja ....

Aku mendengus kasar, pena yang kupegangi terus menggosok-gosok kertas pada bagian yang sama. Namun tidak tertuai tinta di sana, hanya kertas dengan goresan abstrak yang sulit dibaca.

Kemungkinan isi tinta di dalamnya sudah habis, padahal baru aku beli kemarin lusa.

Pandangan mataku mengitari sekeliling, berniat untuk meminjam bolpoin kepada yang lain. Aku malas jika harus ke luar untuk membelinya.

Hari ini dan beberapa hari sebelumnya, kampus masih dalam keadaaan sepi, di dalam kelas pun hanya terdapat beberapa orang. Wajar saja, jika proses pembelajaran belum berjalan seperti biasanya karena masih dalam masa Ospek untuk adik-adik tingkat.

Lihat selengkapnya