Di Balik Senja

Kepo Amat
Chapter #2

Unit Kesehatan Kampus

Pagi ini, giliran teman-teman dari organisasiku yang mengisi Ospek. Sebenarnya aku tidak suka terlalu aktif dalam keorganisasian fakultas. Namun karena waktu luangku banyak terbuang sia-sia, maka aku putuskan untuk bergabung ke dalam BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Tidak semua karena kehendakku, ada bujukan Aldo yang mendominasi di sana. Ia satu-satunya yang tahu masalahku di masa lalu. Di balik gaya somplak dan tengilnya, tak jarang ia memberi petuah-petuah bijak untuk jiwa yang kelam akan jalan penyelesaian ini. Katanya, daripada aku terus merutuki diriku sendiri atas masa lalu lebih baik jika aku menyibukkan diri dengan bergabung ke BEM.

Rasanya agak menjanggal apabila anak sepertiku masuk ke dalam organisasi para intelek itu. Berkumpul bersama orang-orang dengan daya pemikiran tinggi yang kerap kali berdemonstrasi menuntut keadilan bagi rakyat kecil.

Sampai hari ini pun aku masih bingung mengapa bisa terjebak di BEM dan yang lebih mengherankan lagi, aku mendapat posisi yang cukup penting di sana. Dipercaya menjadi Ketua Departemen Hubungan Masyarakat bagian Divisi Informasi dan Komunikasi. Setidaknya, tidak jauh dari karakterku yang suka banyak bicara dan berdebat ini. Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan kesibukkanku di BEM.

Suara hiruk-pikuk dan sorak-sorak penuh semangat terdengar nyaring di telinga oleh para anak baru. Jiwa-jiwa penuh antusias yang belum mengetahui bahwa dunia perkuliahan tidak seseru yang mereka bayangkan, seperti wajib KKN, PKL, death line tugas, skripsi, dan harus bolak-balik revisi. Sangat melelahkan. Ya, untung saja aku juga belum ke tahap itu.

Mungkin di bayangan mereka saat ini adalah masa di mana mereka bisa pamer gaya, bergonta-ganti pacar, dan kuliah semau mereka.

Untuk yang terakhir, aku benarkan. Kita bisa bolos tanpa takut hukuman, titip absen, tidur di kelas, tidak masuk berhari-hari tanpa keterangan pun tidak masalah. Terpenting tugas-tugas terkumpul dan nilai tidak ada yang kosong itu sudah cukup aman.

Terik matahari begitu menyengat. Kerongkonganku terasa kering, sejak tadi aku terus berteriak mengobarkan semangat para wajah baru.

Aku menoleh ke belakang saat merasakan ada yang menepuk pundakku.

"Aldo mana?"

Pandangan mataku mengitari lapangan, mencari sosok Aldo. Aku baru sadar Aldo tidak ada di sini.

"Enggak tau, Kak," jawabku kepada ketua BEM bernama Rafa itu.

"Bantu carilah, habis ini dia yang mengisi materi," pintanya dengan berwibawa. "Dan ingat, nanti kau jangan ikutan ilang. Setelah Aldo, kau juga ada tambahan buat mereka, kan?"

Aku menganggukan kepala. "Siap, tapi aku nanti ke kantin dulu. Haus bat, nih," kataku dengan suara serak.

"Cepat, jangan lama!" peringat Rafa.

Aku memutuskan untuk mencari Aldo, menanyai kepada yang lain. Namun, tidak ada yang tahu anak itu ke mana.

Aku menggerayangi kantung celana, mengambil sesuatu di dalamnya. Aku baru sadar kenapa tidak aku telepon saja dia.

"Kau di mana? Dicariin, nih!" ucapku saat telepon telah tersambung.

"Oh ... iya, aku lupa bilang. Kau buruan sini, ke UKK," sahutnya dari seberang sana.

Lihat selengkapnya