Di Balik Senja

Kepo Amat
Chapter #3

Seorang Pecundang

Mataku membelalak, tak percaya dengan yang kini kulihat.

"Olin," ucapku lirih.

Seorang gadis dari masa lalu tiba-tiba hadir kembali di depan mataku.

Dadaku terasa perih. Melihatnya seakan kembali mengingatkanku akan masa di mana aku hancur dalam kekelaman. Masa di mana semua penderitaan terekam kembali dalam ingatan.

Rasanya aku seketika membenci semua orang di dunia ini. Membuang arti kasih sayang dari keluarga, arti ketulusan seorang teman, dan tak lagi memercayai arti persahabatan.

Yang aku tahu, hanya kegelapan dan sisi kerapuhanku yang nampak jelas.

Gadis itu bangkit dengan lemah, merubah posisinya menjadi duduk. "Dev, gue enggak nyangka kita bisa ketemu lagi," ucapnya dengan mata yang mulai berbinar.

Aku bangkit dari dudukku, hendak keluar. Rasanya, situasi seperti ini sangat membuatku tidak nyaman.

Aku mematung saat merasakan gadis itu memegang tanganku, mencegah agar aku menghentikan langkah. "Bukan muhrim," kataku saat menoleh ke dia.

Gadis itu mengangguk, paham dengan maksudku. Entah sudah berapa lama ia tinggal di Aceh. Tangannya perlahan mengendur, melepaskan genggamannya.

"Dev ... kenapa lu menjauh dari kita semua," ujarnya lirih.

Aku menulikan telinga, seolah tak mendengar apa-apa. Sebenarnya, aku mendengarnya cukup jelas.

"Dev, kenapa lu menjauhi gue? Gue tau, lu terpengaruh sama perkataan teman-teman lu setelah lu minta saran ke mereka. Tapi apa perlu lu menjauhi kita semua?" tanyanya sekali lagi. "Lu itu gampang terpengaruh sama ucapan orang, sih. Segala yang orang bilang selama masuk akal buat lu, pasti lu terima aja," imbuhnya.

Aku menghela napas berat. Tanganku mengepal kuat, berusaha menahan semua gejolak dalam dada. Semua perkataannya terasa begitu menyakitkan.

"Kalau kalian merasa gue menghindar, terserahlah. Bukan maksud gue menjauh dari lu semua. Gue lagi berada di masa-masa yang hancur, dan apapun yang terjadi di waktu itu mungkin membuat pola pikir gue berubah," terangku.

Aku keluar dari ruang UKK, meninggalkan gadis itu sendiri. Masih terdengar samar-samar ia memanggil namaku beberapa kali.

Berhadapan cukup lama dengannya membuatku seolah menjadi pecundang sejati.

<><><><><>

Malam hari, aku bekerja part time di sebuah kedai kopi milik teman ayahku. Seperti biasanya, menghantarkan pesanan para pelanggan, mengelap meja, dan menjadi barista atau peracik kopi di sana.

Pekerjaan ini telah aku lakukan sejak pertengahan semester satu. Awalnya sangat memberatkan, tapi demi meringankan biaya kuliahku dan membantu perekonomian keluarga maka harus sepintar-pintarku dalam membagi waktu. Tak jarang ini membuatku sering ketiduran di kelas saking penatnya.

Seperti biasanya juga, aku selalu ditemani oleh Aldo dan Farad. Mereka hampir setiap malam datang ke kedai ini untuk sekedar meramaikan atau menongkrong saja.

Biasanya aku memarahi mereka yang nongkrong tanpa memesan apapun. Tapi malam ini, dengan kesadaran sendiri mereka telah memesan tanpa disuruh. Walaupun hanya dua kupi ulee kareng—kopi khas Aceh dan satu gorengan bagi berdua.

Sungguh pengiritan yang luar biasa.

"Tumben, pada kesambet apaan?" tanyaku sambil menyuguhkan kopi untuk Aldo dan Farad.

Lihat selengkapnya