Di Balik Senyum Rinjani

quinbbyyy
Chapter #2

Rumah di Persimpangan Rindu

Di ujung sebuah perumahan sederhana di Cikoneng, Tasikmalaya, berdirilah rumah mungil bercat putih kusam dengan pagar besi yang mulai berkarat. Rumah itu milik keluarga kecil Rinjani. Letaknya agak menjorok ke belakang, hampir berbatasan dengan kebun kecil yang masih hijau. Di sisi rumahnya masih ada bangunan kosong, tak berpenghuni, membuat udara di sekitar terasa lebih lengang, sekaligus memberikan ruang bagi suara burung dan desir angin untuk lebih jelas terdengar. Di depan rumah tumbuh sebatang pohon kersen, rindang dengan daun hijau pekat. Buahnya merah menyala, kecil-kecil manis, menjadi kesukaan anak-anak di sekitar. Debby, anak pertama Rinjani yang baru duduk di kelas 3 SD Gunung Padang, paling sering berebut memanjat bersama teman-temannya setiap pulang sekolah. Mereka tertawa, sesekali saling usil melempar buah kersen yang masam ke arah wajah masing-masing. Dari dalam rumah, suara riuh itu sering menjadi musik penghibur bagi Rinjani yang sibuk menidurkan Dinda, bayinya yang baru berusia setahun lebih.

Siang itu, angin semilir berhembus dari arah kebun. Debby duduk bersila di teras rumah, majalah Bobo terbuka di pangkuannya. Sesekali matanya berbinar saat melihat gambar cerita bergambar yang penuh warna. Tangannya meraba halaman, seakan ingin masuk ke dunia imajinasi yang ia baca. Di balik itu semua, ada ketenangan yang sederhana: suara ayam tetangga berkokok, kicau burung yang berkejaran di langit, dan langkah kaki para tetangga yang lewat sambil melemparkan senyum ramah. "Deb, jangan lupa nanti sore ikut Mama ke warung, ya," suara Rinjani terdengar lembut dari dalam. Ia sedang melipat baju, sementara Dinda berguling di kasur tipis, tertawa kecil melihat jari-jarinya sendiri. "Iya, Ma," jawab Debby tanpa mengangkat kepala, matanya masih sibuk mengikuti cerita si kelinci dari majalah. Ada rasa hangat dalam suaranya, khas anak kecil yang betah di rumah.

Rumah itu memang sederhana, bahkan kadang bocor kalau hujan deras. Namun Debby merasa di sinilah dunianya. Di luar rumah, ada perumahan yang ramai oleh tetangga-tetangga ramah. Para ibu sering mengobrol sore-sore di depan pagar, sementara anak-anak berlarian mengejar layangan. Tak jauh dari situ, tepat di belakang perumahan, terbentang danau buatan yang menjadi tempat favorit warga. Airnya tenang, memantulkan cahaya sore, sementara pepohonan di sekelilingnya seakan menjadi penjaga setia. Banyak anak-anak bermain di tepian, melempar batu kecil ke air, atau sekadar duduk memandang langit yang perlahan berubah warna. Bagi Debby, danau itu seperti dunia rahasia. Ia suka sekali pergi ke sana bersama teman-teman sepulang sekolah, sambil bercerita tentang hal-hal sepele seperti tentang guru galak di sekolah, tentang PR matematika, sampai tentang siapa yang berhasil memanjat pohon kersen paling tinggi hari itu. Kadang, Debby duduk diam saja di tepi danau, membiarkan pikirannya melayang jauh. Ada rasa damai yang sulit dijelaskan, seakan air tenang itu bisa menyimpan semua rahasianya.

Rinjani, meski sibuk, selalu memperhatikan anak-anaknya. Ia tahu Debby sering merasa bosan karena hidup mereka pas-pasan. Tak jarang Debby menatap barang-barang teman sekolahnya yang lebih mewah dengan tatapan iri kecil yang tak bisa disembunyikan. Tapi Rinjani selalu punya cara menenangkan. “Deb, hidup kita memang sederhana. Tapi percaya deh, kalau kamu rajin belajar, rajin bantu Mama, semua bisa berubah,” ucapnya suatu malam sambil mengelus rambut Debby. Gadis kecil itu mengangguk, meski mungkin belum sepenuhnya mengerti. Tapi kalimat itu ia simpan di hatinya, seperti benih kecil yang kelak akan tumbuh menjadi pohon harapan. Hari-hari pun berjalan. Debby makin terbiasa dengan rutinitas: sekolah di SDN Gunung Padang, bermain di kebun, memanjat pohon kersen, dan sore hari jalan kaki bersama Mama ke warung kecil untuk membeli beras atau sekadar gula. Kadang, Debby ikut menimang Dinda ketika Mama sibuk.

Tetangga-tetangga di perumahan itu juga seperti keluarga sendiri. Ada Bu Santi, yang sering mengirimkan pisang goreng hangat saat sore hujan. Ada Pak Ahmad, yang suka mengajak anak-anak menonton televisi di rumahnya karena ia satu-satunya yang punya TV berwarna. Kehangatan itu membuat segala kesederhanaan terasa lebih ringan. Di balik semua keceriaan itu, Rinjani sering duduk sendiri saat malam, ketika anak-anak sudah terlelap. Ia menatap tembok, menghitung sisa uang belanja, dan menghela napas panjang. Kadang air matanya jatuh, tapi cepat ia hapus, takut ketahuan Debby yang tidur di sampingnya. Ia tahu, hidup tanpa suami di sisi bukan perkara mudah. Tapi ia juga tahu, Debby dan Dinda adalah alasan terkuat untuk tetap berdiri. Dan esok paginya, saat matahari menyorot lembut dari sela-sela jendela, Rinjani selalu bangun dengan senyum baru. Seolah kesedihan semalam sudah dikubur oleh cahaya pagi. Debby yang berlari ke luar rumah dengan seragam SD, sambil sesekali melompat mencoba meraih buah kersen, menjadi pengingat bahwa hidup masih indah untuk diperjuangkan. Di kejauhan, danau buatan berkilau ditimpa cahaya mentari. Angin membawa aroma tanah basah dari kebun di belakang. Tasikmalaya terasa damai, setidaknya bagi keluarga kecil di ujung perumahan itu.

***

Lihat selengkapnya