Libur semester akhirnya tiba, membawa suasana berbeda di rumah kecil keluarga Rinjani di Cikoneng. Sejak pagi, udara di rumah sederhana di ujung perumahan itu terasa lebih hidup dari biasanya. Suara pintu lemari yang dibuka-tutup, langkah kaki yang mondar-mandir, dan celoteh kecil Debby yang tak bisa diam membuat pagi itu penuh warna. Mama Rinjani sibuk melipat pakaian, memasukkannya ke dalam dua tas besar yang sudah agak lusuh. Ia menimbang setiap helai baju dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang tertinggal. Ayah Aang duduk di ruang tamu, menunduk memeriksa tiket bus Budiman yang sudah ia pesan jauh-jauh hari. Berkali-kali ia mengecek, seolah takut salah jadwal. Debby, si sulung yang duduk di kelas tiga SD, berlarian riang dengan rambut dikepang dua, sesekali mengangkat tinggi majalah Bobo lusuhnya. “Mama, Debby bawa ini ya, nanti kalau di bus bosan bisa baca,” katanya dengan mata berbinar. Sementara itu, Dinda yang baru berusia satu tahun lebih, merengek manja minta digendong.
Perjalanan kali ini terasa istimewa. Mereka akan berangkat ke Bandung, ke rumah Abah, kakek dari pihak mama. Sudah lama mereka tidak bertemu. Rindu menumpuk, terutama pada dua adik mama, Ba Atu (Royani) dan Ba Anty (Royanti), yang selalu jadi tempat berbagi cerita. Ada rasa tak sabar menyambut kehangatan keluarga besar. Ketika semuanya sudah siap, keluarga kecil itu berjalan menuju terminal. Udara Tasikmalaya pagi itu sejuk, tapi hati mereka lebih hangat karena antusiasme. Terminal Tasikmalaya ramai. Pedagang asongan menawarkan dagangannya dengan suara keras: kacang rebus, permen, hingga minuman dingin. Klakson kendaraan bersahutan. Debby yang tak terbiasa dengan keramaian itu justru tampak bersemangat, matanya sibuk menatap ke sana kemari. Ayah menggendong Dinda yang mulai mengantuk, sementara mama menggenggam tangan Debby erat agar tidak lepas.
Bus Budiman berwarna hijau-putih akhirnya datang. Begitu pintu terbuka, hawa sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapa. Kursi empuk berjejer rapi, wangi karpet masih terasa. Mereka duduk berdampingan: ayah di samping lorong memangku Dinda, mama di dekat jendela, dan Debby di sisi mama. Awalnya perjalanan terasa menyenangkan. Dari balik kaca, Debby melihat sawah luas, gunung yang menjulang gagah, sungai berkelok yang berkilau diterpa matahari. “Mama, lihat! Indah banget…” ujarnya takjub. Mama tersenyum, senang anaknya menikmati perjalanan. Namun, sekitar satu jam kemudian, wajah Debby mulai pucat. Tangannya menggenggam perut. “Mama… Debby pusing,” bisiknya lirih. Mama panik, mengusap punggungnya. “Sabar ya, Nak, tarik napas pelan-pelan.” Tapi tak lama, Debby muntah. Ayah cepat mengambil kantong plastik dari kondektur. Bau asam menyebar, beberapa penumpang menoleh. Mama terus mengusap kepala Debby dengan lembut. “Tidak apa-apa, sayang. Nanti sampai Bandung kita beli obat, ya.” Debby mengangguk lemah, lalu bersandar di bahu mama, perlahan tertidur.
Empat jam perjalanan yang melelahkan akhirnya berakhir di Terminal Leuwipanjang. Bandung sore itu terasa dingin menusuk. Ayah menurunkan barang-barang, mama menggendong Dinda yang terlelap, sementara Debby mulai segar setelah tidur. Dari kejauhan, dua sosok perempuan melambaikan tangan penuh semangat. “Teh!” seru Ba Atu, Royani, dengan suara lantang. “Debby! Sini, sayang!” sambung Ba Anty, Royanti, dengan senyum riang. Mama segera memeluk erat kedua adiknya. Debby yang tadinya lemas, langsung ceria digendong bergantian oleh mereka. Ada kehangatan yang tak bisa ditukar dengan apa pun: bertemu kembali dengan keluarga yang dirindukan.
Rumah Abah di Bandung memang tidak terlalu besar, tapi selalu penuh keceriaan. Begitu pintu terbuka, aroma masakan menyeruak. Di meja sudah tersaji batagor hangat, pisang goreng renyah, colenak manis, hingga es cendol segar yang membuat Debby menelan ludah. “Debby, makan dulu biar kuat,” kata Abah sambil menepuk pundaknya dengan senyum bijak. Debby tersipu, lalu duduk di samping Dinda yang masih digendong mama. Suasana makan malam menjadi riuh. Ayah duduk santai sambil bercerita tentang pekerjaannya yang harus bolak-balik antar kota. Mama menyimak dengan mata berbinar. Ba Atu dan Ba Anty berebut ingin menyuapi Debby potongan batagor. Tawa meledak ketika Debby tersedak kecil lalu cepat-cepat disodori es cendol. Malam itu rumah terasa begitu hidup, penuh suara dan cinta.