Esok paginya, suasana rumah kakek kembali riuh. Matahari baru naik, tapi suara riang sudah memenuhi halaman. Udara Bandung yang sejuk bercampur aroma tanah basah, jadi latar permainan yang tak pernah sepi. “Mby, sini cepet! Rumah-rumahan udah beres nih, ayo kita main pesta-pestaan!” seru Jeni dengan gaya centilnya sambil menaruh boneka di ruang tamu miniatur. Mby datang dengan Garfield di pelukannya. “Hehe, Garfield jadi tamu spesial ya,” katanya sambil menaruh boneka itu di kursi kecil. “Apaan tamu spesial, Mby! Garfield cocoknya jadi badut. Nih, dia goyang!” Jeni menggoyang-goyangkan tangannya, pura-pura menirukan Garfield joget.
“Eh, jangan gitu! Garfield badut kece, tau!” Mby ikut menggoyang-goyangkan boneka kesayangannya dengan gerakan kaku. Yuni langsung ngakak. “Ya ampun, itu badut apa orang mabok?” Hani cepat-cepat menimpali sambil menyodorkan tutup botol ke Garfield. “Udah, biar nggak lemes, Garfield makan dulu!” Tawa mereka pecah. Jeni sampai tepuk-tepuk lantai, sementara Jesi hanya duduk di samping, bibirnya tersungging tipis, tapi tak berkata sepatah kata pun.
Setelah puas main rumah-rumahan, mereka pindah ke halaman. Tali sudah siap diputar, sandal sudah dilepas agar lebih gesit. “Ayo, Mby duluan! Jangan sampai nyangkut ya!” kata Yuni bersemangat. Mby lompat dengan percaya diri, tapi baru dua kali, kakinya tersangkut. “Aduh! Kok cepet banget sih!” “Hahaha! Baru mulai udah jatuh!” Jeni menyoraki sambil menepuk-nepuk lututnya sendiri.
Hani tak mau kalah mencoba, tapi baru melompat tiga kali sudah tersandung sendiri. “Ih, talinya nakal!” protesnya, membuat semua makin terbahak. Permainan berganti ke congklak. Biji-biji kecil berderak memenuhi papan. Jeni, dengan gaya sok pintar, bilang, “Aku mah pasti menang, strategi aku tuh jago!” Giliran Mby, dia malah salah hitung. Bukannya menutup lubang lawan, lubang sendiri yang penuh. “Hahahaha! Ngaco amat, Mby!” Jeni ngakak centil sambil menunjuk papan.
“Aku sengaja! Biar rame mainnya,” Mby ngotot, wajahnya dibuat serius. “Alasan, alasan,” Yuni menepuk jidatnya. Tawa pecah lagi, bahkan Jesi pun kali ini tak tahan untuk ikut tersenyum lebih lebar dari biasanya. Sore itu ditutup dengan monopoli. Uang-uangan kertas berserakan, kartu properti ditumpuk sembarangan, dan dadu berpindah dari satu tangan ke tangan lain. “Ya ampun! Masuk penjara lagi!” Hani manyun.
“Ya salah sendiri, kebanyakan jalan-jalan!” Jeni nyeletuk cepat, nada centilnya bikin semua makin ngakak. Mereka semua tertawa hingga perut sakit. Jesi hanya menunduk sambil merapikan uang monopoli di tangannya, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Hari itu terasa sempurna dan penuh tawa, penuh kehangatan, penuh konyol-konyolan khas anak-anak. Lima serangkai itu, Mby, Jeni, Jesi, Yuni, dan Hani kembali menorehkan kenangan yang akan mereka kenang seumur hidup.
Tawa mereka belum juga reda. Perut Debby sampai sakit menahan geli, sementara Jeni masih terpingkal-pingkal di lantai sambil memegang perutnya sendiri. Jeni memang selalu jadi pemicu tawa, tingkahnya centil dan ceplas-ceplos membuat suasana tak pernah sepi. Jesi, saudara kembarnya, hanya menggeleng pelan, meski di bibirnya tersungging senyum tipis, seolah diam-diam menikmati keributan itu. “Udah ah, nanti tetangga bilang kita gila ketawa sendiri,” celetuk Yuni sambil mencoba menahan tawa, meski akhirnya malah ikut tergelak lagi. “Eh iya, tapi lucu banget tadi Mby pas nyangkut di tali, kayak ayam ketiban jaring!” Jeni menirukan gaya Debby ketika lompat tali tadi siang.
“Ya ampun, Jeniiiii!” Debby menjerit malu sambil menutup wajah dengan boneka Garfield yang selalu setia menemaninya. “Jangan ditiruin lagi, ih! Malu tau!” Hani ikut menimpali dengan gaya sok serius. “Tapi beneran, Mby, pas kamu jatuh tuh kayak suara genteng jatuh! Buuum! Sampai kucing di belakang kabur.” Ledakan tawa baru pecah lagi. Kali ini Debby hanya bisa ikut tertawa, menyerah pada ejekan saudara-saudaranya. Gara-gara permainan lompat tali sore itu, rumah belakang bude Sri berubah jadi panggung komedi anak-anak lima serangkai plus tambahan komentar nyeleneh dari Jeni.
Setelah puas, mereka pindah ke permainan lain. Congklak ditata di lantai, manik-manik mungil dari biji sawo berjejer rapi dalam lubang-lubang papan congklak. Sementara itu, Hani mengeluarkan bonekanya yang rambutnya sudah kusut, katanya boneka Barbie asli. Yuni tak mau kalah, ikut membawa boneka lain yang entah kenapa satu matanya sudah hilang. “Kalo boneka kamu ditutupin satu mata, Yun, kayaknya bisa jadi bajak laut,” ujar Jeni sambil menempelkan daun kecil di wajah boneka Yuni. “Mending bajak laut daripada kayak boneka kamu, Jen. Rambutnya kayak mi instan nggak dikasih bumbu,” balas Yuni cepat. Hani langsung terbahak, sedangkan Jesi hanya memainkan congklak seakan tak mau terlibat perang kata-kata itu.
Di tengah suasana riuh itu, tiba-tiba muncul suara langkah dari rumah belakang. Suara sandal jepit menyentak lantai semen yang dingin. Seketika tawa mereka agak mereda, menoleh hampir bersamaan. Dari balik pintu kayu, muncullah sosok A Eri, anaknya bude Sri dengan membawa sebuah piring kecil di tangannya. “Eh, ada apa A?” tanya Hani penasaran, matanya langsung tertuju ke piring yang berkilau terkena cahaya sore.
A Eri menatap mereka dengan wajah misterius. “Kalian mau lihat tuyul?” suaranya dibuat berat, seolah sedang membacakan mantra rahasia.
“Apaaa? Tuyul???” hampir semua serentak berseru.