Di Balik Senyum Rinjani

quinbbyyy
Chapter #5

Hati yang Enggan Pulang

Malam itu rumah terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu ruang tengah menyala temaram, memantulkan bayangan lembut ke dinding kayu. Aroma minyak kayu putih samar tercium dari kamar, bercampur dengan bau harum teh manis yang baru saja diseduh Iba Anty di dapur. Dari luar jendela, suara jangkrik bersahut-sahutan, tanda malam semakin larut.

Di kamar depan, Mama Rinjani sudah duduk di kasur tipis bersama kedua putrinya. Dinda yang baru berusia satu tahun tampak mengisap jari telunjuknya sambil berbaring di bantal kecil. Matanya berkilat-kilat, setengah mengantuk namun masih ingin ikut mendengar cerita. Sementara itu Debby—atau Mby, begitu panggilan sayangnya, sedang duduk bersila, menatap penuh semangat buku dongeng di tangan mamanya. “Baiklah, malam ini kita baca tentang Peri Bahagia,” ujar Mama Rinjani dengan suara lembut, membuka halaman yang penuh gambar peri bersayap warna-warni. Mby tersenyum, menyandarkan kepala ke lengan Mama. “Peri itu bisa terbang, Ma?” tanyanya polos. “Iya, Nak,” jawab Mama sambil tersenyum, “peri ini bisa terbang ke mana saja, tapi kekuatannya bukan sayapnya. Kekuatannya ada di hatinya yang selalu membawa kebahagiaan.”

Dinda tiba-tiba mengeluarkan suara gumaman tak jelas, “Ba…bahhh…piiihh…” tangannya menunjuk gambar peri di buku. Semua tertawa kecil. “Dinda juga mau dengar peri, ya?” Mama menoleh padanya, menepuk lembut kaki bungsunya itu. Papa Aang lewat di depan pintu kamar sambil membawa koper setengah terbuka. Ia sedang sibuk melipat baju dan memasukkannya ke dalam tas. “Jangan lupa boneka Garfield dibawa, ya, Mby,” katanya sambil melongok ke dalam. Mby mengangguk, meski wajahnya sedikit murung.

Mama Rinjani melanjutkan dongeng. Suaranya lembut, mengalun bagaikan nyanyian. “Peri bahagia selalu datang kepada anak-anak yang rajin belajar dan tidak suka menangis. Kalau anak-anak itu sedih, peri akan meniupkan cahaya, supaya mereka kembali tersenyum…”

Belum selesai Mama bercerita, tiba-tiba Mby meringis. Bibir mungilnya bergetar, lalu air mata mengalir begitu saja. “Ma… Mby nggak mau pulang besok,” ucapnya lirih, namun penuh isak. Dinda yang tadinya hampir tertidur langsung menoleh, matanya membesar melihat kakaknya menangis. “Hhh…eyyyhh…” celotehnya, seperti ingin ikut menenangkan. Mama menutup buku dongeng perlahan, lalu merangkul Mby. “Kenapa, Sayang? Kan sebentar lagi kita libur lagi, nanti bisa main ke sini lagi.”

“Enggak mau! Mby mau main lagi sama Jeni, Jesi, Yuni, sama Hani!” suaranya meninggi, tangisnya pecah. Papa Aang meletakkan koper di lantai, lalu mendekat. Ia jongkok di samping anaknya. “Mby, kita pulang karena sekolahnya sudah mau mulai lagi. Kalau Mby nggak sekolah, nanti gimana? Teman-teman Mby nanti ketinggalan pelajarannya, loh.” Namun tangis Mby malah makin keras. “Nggak mauuuu! Sekolahnya tunggu aja… Mby masih mau main congklak, masih mau main monopoli… masih mau…” suaranya terputus-putus di antara isakan. Dinda spontan ikut-ikutan menangis, entah karena iba atau sekadar refleks mendengar suara kakaknya. “Eee…aahhh… uwaaaahhh!” Tangisan bayi itu justru menambah riuh suasana kamar.

Lihat selengkapnya