Pagi itu matahari baru menembus tirai kamar, sinarnya menari di dinding, lembut tapi juga terasa getir. Di ruang tengah, suara koper yang digeser bersahutan dengan aroma teh melati yang baru diseduh. Mama Rinjani berjalan ke sana kemari, menata pakaian, memeriksa tas kecil Dinda yang sudah dipenuhi mainan dan popok. Sementara Papa Aang duduk di kursi, merapikan beberapa dokumen yang akan ia bawa ke Tasik. Hari itu rencananya mereka pulang. Liburan telah usai. Tapi pagi itu tidak berjalan seperti biasa. Ada sesuatu yang berbeda, semacam udara berat yang menempel di dinding rumah, tak mau pergi. Debby duduk di sudut ruangan, memeluk boneka lusuh yang tak pernah lepas dari tangannya. Ia diam saja, menatap koper besar di lantai seolah benda itu musuhnya. “Debby, bantu Mama ya, Sayang. Kita beres-beres dulu, nanti Papa berangkat bareng kita,” ucap Mama Rinjani lembut sambil menutup koper. Debby tidak menjawab. “Debby?” panggil Mama lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan. Hening beberapa saat. Lalu tiba-tiba, suara tangis itu pecah, nyaring dan jujur.
“Aku nggak mau pulang ke Tasik!”
Semua kepala menoleh. Papa Aang mengangkat wajahnya, kaget, lalu meletakkan dokumennya di meja. “Kenapa, Sayang?” tanyanya, suaranya tetap tenang. Debby menggigit bibir, matanya merah. “Aku mau di sini aja! Sama Jeni, Jesi, Yuni, sama Hani! Aku nggak mau ke Tasik!” Abah menurunkan koran yang sejak tadi ia baca, menatap cucunya dengan lembut. “Debby, Nak… di Tasik itu rumahmu. Sekolahmu di sana. Di sini kamu bisa main kalau liburan datang lagi.”
“Liburannya lama, Bah!” Debby menangis keras. “Aku nggak mau nunggu lama!” Papa Aang berdiri, lalu berlutut di depannya. Ia menatap mata kecil itu dengan pandangan yang sulit ditebak, antara marah, sedih, dan iba. “Papa tahu kamu senang di sini, tapi Papa harus kerja di Tasik. Papa nggak bisa tinggal. Banyak yang harus Papa selesaikan di sana.” Debby menggeleng keras. “Kalau gitu Papa aja yang pulang! Debby sama Mama di sini aja!” Mama Rinjani menatap anaknya, lalu pada suaminya. Hatinya ikut mencelos, tapi ia tak ingin ikut terseret dalam emosi yang sama. “Debby, Sayang, Papa—”
Belum sempat ia melanjutkan, Papa Aang sudah menatapnya lembut. “Biar saja, Ma. Kalau itu membuat Debby tenang, Papa pulang dulu. Mama dan anak-anak bisa di sini dulu sama Abah.” Mama Rinjani terdiam. “Pa… kamu serius?” Papa Aang mengangguk pelan. “Kerjaanku di Tasik memang harus segera diselesaikan. Aku nggak mau maksa Debby kalau dia belum siap.” Debby berhenti menangis, menatap papanya lekat-lekat. “Papa nggak marah?”
Papa tersenyum samar. “Papa nggak marah, Sayang. Papa cuma pengin kamu bahagia. Tapi nanti, kalau waktunya tiba, kamu janji ya… pulang juga ke Tasik.” Debby menunduk, air matanya jatuh pelan. Ia mengangguk kecil, tak yakin suaranya masih bisa keluar.
Udara pagi tiba-tiba terasa hening. Di luar, ayam berkokok, dan sinar matahari makin tinggi. Rumah itu mendadak sunyi oleh perasaan yang tak terucap. Beberapa jam kemudian, koper Papa Aang sudah berdiri di dekat pintu. Mama Rinjani membantu memeriksa barang-barang terakhir. Abah berdiri di depan jendela, memandangi halaman yang disapu cahaya pagi. Ketika Papa sudah siap, Debby berdiri di teras, masih dengan boneka di pelukan. Dinda di gendongan Mama menggeliat kecil, tertawa tanpa tahu apa-apa. Papa Aang menunduk, mencium kening kedua anaknya satu per satu. “Jaga Mama, ya, Debby. Papa nggak lama,” katanya pelan. Debby mengangguk, suaranya bergetar. “Hati-hati, Pa…”