Di Balik Senyuman Itu

Rintik Hujan
Chapter #1

Episode 01 - Tentang Sebuah Mimpi

Jika ingin melihat bagaimana kerasnya dunia, lihat guratan lelah di wajah ayahmu, sapu telapak tangannya yang kasar itu. Dari sana kau akan tahu, betapa dunia benar sangat keras.

Jika ingin belajar tentang sebuah keihklasan, dengarkan lirihnya doa ibumu tengah malam, tatap kelembutan perangainya. Dari sana kau akan belajar, betapa kau lebih penting daripada dirinya sendiri.


“Kalau sudah besar, kau mau jadi apa, Ana?” Pertanyaan ayahnya itu, memutus keseruan Ana melihat jalanan pagi yang padat dari balik kaca mobil truk besar yang sedang melaju lambat.

Jika anak seusia Ana menghabiskan waktu libur panjang sekolah dengan berlibur dan bermain, berbeda dengan Ana yang lebih memilih ikut ayahnya bekerja. Ayahnya yang sudah berumur 50 tahun itu masih harus menjalani pekerjaan sebagai sopir truk pengangkut pasir, demi bisa melanjutkan hidup dan mengisi perut dengan nasi. Tubuh tua, rambut beruban, dan kulit keriput itu, ternyata tidak melemahkan tenaga dan semangatnya. 

Semestinya, Ayah sudah beristirahat dari pekerjaannya yang melelahkan. Tapi, menghidupi kelima anaknya dan seorang istri membuatnya harus berjuang lebih lagi. Ana memiliki seorang abang yang tidak tinggal bersama mereka, dua orang kakak perempuan, dan seorang adik perempuan. Ana adalah anak keempat dari lima bersaudara. Begitulah, jika ada manusia yang rela menyerahkan hidupnya demi manusia lain... maka manusia itu adalah ayah dan ibumu.

Anak kecil berwajah tegas dan berambut gelombang itu menoleh sekilas dari keseruannya. “Jadi Dokter.”

Mobil truk berbelok setelah melewati jembatan yang menghubungkan jalan lintas dan kota Kabupaten, memasuki jalanan sepanjang daerah aliran sungai yang beraspalkan tanah dan batu. Jembatan itu, sekitar 200 meter sebelah selatan, paralel dengan jembatan jalur kereta api dengan ornamen besi melengkung membentuk separuh oval.

“Beritahu Ayah, kenapa kau ingin menjadi Dokter?” Jalanan bebatuan dan berlubang membuat tubuh mereka terguncang.

“Biar bisa merawat Ayah dan Mamak, kalau nanti sakit.” katanya tanpa menoleh.

“Itu cita-cita yang baik...” Ayah tertawa kecil, kemudian berkata. “Tapi kau tahu? Tidak semua hal di dunia ini bisa kau raih dengan mudah. Kadang-kadang kau butuh berusaha lebih keras dari orang lain. Dan, kadang-kadang juga meskipun kau sudah berusaha sangat keras, cita-cita itu tidak pernah bisa kauraih. Bukan karena hidup tidak adil, tapi karena Tuhan ingin kau menikmati jalan terbaik yang dipilihkan oleh-Nya.”

“Seperti Ayah?” Ana beralih dari keseruannya menatap sungai besar yang airnya berwarna cokelat—menatap wajah Ayah. Dia mulai tertarik dengan percakapan itu.

“Bukan, tapi seperti Mamakmu.”

Ana kecil menatap bingung ke arah ayahnya. Usianya baru tujuh tahun, masih sulit baginya memahami maksud dari kalimat semacam itu. Belum sempat Ana bertanya apa maksud dari kalimat ayahnya, truk mereka sudah memasuki lokasi pengambilan pasir. Ayah harus memusatkan fokusnya pada kemudi truk. Percakapan mereka terpaksa dihentikan.

Truk bermuatan kosong itu berjalan mundur menuruni tanjakan tanah liat yang licin dan basah demi sampai ke pinggir sungai. Detik-detik badan truk yang mulai miring seperti ingin terbalik, seharusnya menjadi sesuatu yang mengerikan. Tapi ternyata tidak untuk Ana, dia justru berseru kegirangan dengan mata membulat persis seperti sedang menaiki wahana seru di taman hiburan. Ana, anak kecil pemberani dan kuat, meski banyak yang bilang dia penakut sekali.

Selesai truk besar mereka terparkir sempurna, Ayah mematikan mesin, melompat turun dari kursi kemudi, bergegas membuka pintu bak pada truk, agar para penambang pasir mudah memuat pasir-pasir itu ke dalam bak besar hingga menggunung. Lima menit kemudian, Ayah membukakan pintu penumpang, menggendong Ana turun.

Lihat selengkapnya