Di Balik Senyuman Itu

Rintik Hujan
Chapter #2

Episode 02 - Harus Tahu Diri

Benarlah adanya, bagi orang miskin, 

bahkan untuk bermimpi saja harus tahu diri.


“Lihatlah, perahumu berjalan lambat sekali.” Anak laki-laki sepantaran dengan Ana—yang kini usianya sudah 10 tahun—tertawa mengejek, sambil berlari kecil menyusuri saluran air yang berada di samping bengkel Paman Malik.

Ana yang juga ikut berlari-lari kecil, menatap anak laki-laki di depannya, mendengus. Memilih tidak menimpali. Dia kembali fokus memperhatikan jalan perahunya, khawatir terbalik. 

Anak laki-laki itu bernama Tegar. Dia kawan baik Ana di sekolah maupun di rumah. Mereka sering menghabiskan waktu bermain bersama selepas pulang sekolah. Seperti saat ini, mereka tengah asyik bermain perahu otok-otok yang tadi mereka beli di pasar.

Kalian tahu perahu otok-otok? Itu kapal air mainan yang terbuat dari kaleng, dibentuk seperti perahu, kemudian dicat warna-warni. Perahu itu tidak menggunakan baterai atau kabel-kabel elektronik sebagai penggerak, melainkan perahu itu digerakkan dengan mekanisme sederhana. Letakkan kapas di posisinya, basahi dengan minyak tanah, kemudian dibakar. Energi panas dari kapas yang terbakar akan muncul dan disalurkan melalui pipa ke buritan perahu, mengeluarkan suara kencang tok-tok-tok, dan perahu melesat maju.

Dua anak nakal itu masih memakai seragam sekolah, sedang balapan perahu otok-otok di saluran air selebar satu meter, dengan kedalaman tak lebih dari dua meter yang lurus tak kurang dari dua puluh meter, kemudian masuk ke gorong-gorong.

Sebab saat itu musim penghujan tiba setelah kemarau panjang akhirnya usai. Saluran air yang semula airnya dangkal, kini penuh jernih. Cocok sekali menjadi lokasi balapan. Dua perahu otok-otok berwarna merah dan biru saling berkejaran. Perahu merah milik Tegar berhasil melesat di depan sana meninggalkan perahu biru Ana, yang entah mengapa jalannya lambat sekali. 

Ana bersungut-sungut, membantu mendorong perahunya menggunakan ranting kayu cukup panjang yang memang sengaja mereka bawa setiap saat balapan. Namun, sial sekali. Berharap cara itu beguna untuk menambah lajunya, perahu Ana malah mengambang dengan posisi terbalik, membuat keningnya semakin berkerut kasar. Menyebalkan! Tidak menyerah, Ana berusaha mengembalikan posisi perahunya seperti semula dengan ranting kayu sembari berjalan cepat sepanjang saluran air. 

Beberapa meter di depan Ana, Tegar masih berlari kecil mengikuti perahunya, meninggalkan Ana yang masih sibuk menjolok-jolok—mengembalikan posisi perahu miliknya. Sampai karena terlalu serius menjolok, tubuh Ana kehilangan keseimbangan, hingga dia jatuh ke saluran air. Kabar buruknya, Ana tidak bisa berenang, tubuhnya terbawa arus air. Di tengah napasnya yang terengah, Ana berteriak memanggil nama Tegas sekuat yang dia bisa. Tapi sayangnya karena jarak mereka cukup jauh, Tegar tidak bisa mendengar seruan Ana.

Ana berusaha sekuat tenaga agar sesekali kepalanya tetap bida muncul ke permukaan, mengambil napas. Hingga detik menegangkan, saat kesadaran Ana mulai menipis, seluruh tenaganya habis, tubuhnya perlahan tenggelam, lantas byur! suara kecipak air memenuhi sekitar. Membuat cipratan besar. Seseorang dengan cekatan menarik tubuhnya, membawanya naik ke atas. Berusaha menyadarkannya dengan menepuk-nepuk pelan wajahnya dan terus memanggilnua. Begitu tersadar, Ana terbatuk, melihat wajah seseorang yang telah menyelamatkannya. Tegar. Rupanya dia berhasil menyadari kondisi Ana yang hampir tenggelam. Ana menangis sejadi-jadinya, dia takut sekali. Tidak pernah terbayang bagaimana jadinya karena iseng balapan perahu nyawanya melayang.

Tegar yang duduk di hadapan Ana dengan seluruh tubuh basah, mengembuskan napas lega. Dia menepuk-nepuk pelan pundak Ana, menenangkan Ana yang masih terisak. Sepuluh menit berlalu. Kesedihan Ana mulai mereda setelah Tegar berkali-kali meyakinkannya bahwa semua sudah baik-baik saja. Kemudian Tegar mengantar Ana pulang dengan seragam mereka yang basah kuyup.

“Astaghfirullah... Kenapa kalian basah kuyup begini?” Mamak yang sedang menyapu lantai di teras rumah seketika membuang sapu ke sembarang arah, bergegas menghampiri mereka, bertanya panik melihat Ana pulang sambil dipapah Tegar. 

Tegar menjelaskan kronologi kejadiannya dengan tenang dan bahasa yang tertata. Jangan heran, Tegar memang anak yang cerdas. Peringkat satu di kelas. Meski di usianya yang masih kecil, dia mampu memahami sesuatu dan bersikap begitu tenang. Mamak mengucap syukur dan terima kasih kepada Tegar, karena sudah menyelamatkan Ana. Tegar mengangguk, juga menyampaikan permohonan maaf karena kenakalan mereka. Berbeda dengan Ana, dia justru kena omelan Mamak karena sudah nakal sekali. 

“Sudah berapa kali Mamak katakan jangan bermain di saluran air saat musim hujan, heh! Kenapa kau tidak mau mendengar juga. Syukur tidak terjadi apa-apa padamu.”

Lihat selengkapnya