Yang diketahui anak-anaknya,
Ayah adalah manusia terkuat di bumi.
“Kalian tahu dari mana semburan lava gunung berapi berasal?” Bu Rifah memperlihatkan gambar gunung berapi di depan kelas. Kertasnya cokelat karena terlalu lama disimpan.
Seisi kelas serempak menggeleng.
“Semburan lava gunung berapi berasal dari dalam bumi.” Bu Rifah menjelaskan sambil menunjuk dataran di sekitar gunung pada gambar.
“Di dalam bumi terdapat lapisan yang disebut mantel bumi. Mantel bumi berada di kedalaman 70 hingga 2.833 km. Lapisan ini terdiri dari bebatuan yang sangat panas dan bahkan meleleh, yang secara ilmiah disebut magma. Sederhananya, magma merupakan lautan api yang menggelegak di dalam mulut gunung berapi. Nah, jika ada retakan atau celah di kerak bumi, magma ini bisa meresap naik dan tersembur keluar sebagai lava. Di mana lava ini dapat berubah menjadi lahar setelah mengalir dan bercampur dengan material-material di permukaan bumi.”
“Kalau lava berasal dari perut bumi, kenapa kita tidak merasakan panasnya, Bu?” Tegar mengangkat tangan, bertanya.
“Pertanyaan bagus, Tegar.” Bu Rifah tersenyum. “Dataran yang kita pijak sekarang namanya lapisan terluar bumi. Lapisan terluar bumi, diliputi kerak bumi setebal 70 km yang memiliki sifat insulator panas, lebih mudah lagi menjelaskan seperti selimut tebal. Kenapa kita tidak bisa merasakan panas seperti terbakar? Karena dataran yang kita injak berada di titik yang pas jauhnya dari inti bumi. Sehingga terjadi kestabilan suhu dari dalam bumi dan dari luar bumi—membatasi pertukaran panas dari bawah ke atas. Salah satu faktornya juga karena komposisi dari kerak bumi itu sendiri, yang terdiri dari bebatuan silikat yang dapat menjadi isolator yang baik.”
Mereka manggut-manggut serempak. Sebagian betulan mengerti, sebagian lagi sok mengerti.
Bu Rifah selalu pandai menjelaskan pelajaran dengan pembawaan cerita yang menarik, sampai mereka yang semula mengantuk akhirnya dibuat segar kembali karena ceritanya. Ana dan Tegar duduk di bangku kelas lima, bersekolah di SD swasta yang tergolong uang sekolahnya paling murah dengan fasilitas seadanya, juga para pengajar yang terbatas. Seperti Bu Rifah yang harus membagi waktu mengajar kelas Ana lalu mengisi kelas yang kebetulan gurunya sedang tidak masuk.
Bu Rifah melanjutkan penjelasan tentang gunung berapi, bercerita panjang lebar, cerita yang asyik. Sampai di tengah cerita tiba-tiba datang Mamak menjemput, menghentikan pelajaran sejenak. Ini belum saatnya jadwal pulang sekolah, tapi entahlah ada apa. Mamak berbicara pada Bu Rifah, lirih sekali, seperti bisik-bisik cukup lama. Sampai akhirnya Bu Rifah meminta Ana untuk mengemasi peralatannya dan ikut Mamak pulang. Ya, Mamak meminta izin pada Bu Rifah untuk membawa Ana pulang.
Selama di dalam perjalanan pulang, Mamak tidak menjelaskan apa pun. Ana mendongak, melihat ekspresi Mamak. Dari wajahnya yang panik dan gelisah sudah cukup menjelaskan ada sesuatu buruk yang telah terjadi. Bahkan Ana sudah bisa menebak dari arah jalan pulang yang dipilih oleh Mamak. Tidak, mereka tidak melewati jalan menuju ke arah rumahnya, tapi ke arah yang berbeda, ke tempat yang berbeda.
Mereka sampai di rumah bertingkat dengan pohon belimbing di halaman depan. Pagar yang berbunyi saat di dorong. Itu rumah atoknya Ana, dia tahu persis rumah yang jauh lebih besar daripada rumah kontrakannya. Ternyata Mamak membawanya ke sana, tapi entah karena alasan apa. Saat masuk, di ruang tengah sudah ada Kak Dani yang duduk di kursi roda dan Salsa yang terlihat asyik bermain dokter-dokteran. Ana menyalami neneknya yang baru saja keluar dari dapur. Mamak berbicara pada Nenek Ana, minta tolong agar anak-anaknya dijaga sementara waktu. Belum sempat Ana bertanya ada apa, Mamak buru-buru pergi entah ke mana.