Di Balik Senyuman Itu

Rintik Hujan
Chapter #5

Episode 5 - Mak, Jadi Orang Baik itu Melelahkan, Ya?

Capek jadi orang baik itu...

Terjadi karena kau sudah merasa diri paling baik.


Pukul satu siang. 

Seperti biasa, selepas pulang sekolah, beres berganti baju, Ana langsung berlari hendak bertemu dengan teman-temannya. Mereka tidak bermain bola atau lari-larian kali ini, karena matahari di atas kepala sedang terik-teriknya, jadi mereka memilih duduk bersantai di atas pohon rambutan di dekat lapangan yang tidak terlalu tinggi. Pohon rambutan itu tak bertuan, dibiarkan begitu saja, makanya bebas-bebas saja memanjati, bergelantungan di dahan pohon, atau asyik mencomot buah rambutan tanpa khawatir diteriaki maling. Ana dan teman-temannya menjadikan pohon rambutan itu sebagai basecamp kedua mereka. Apalagi jika sudah masuk musim rambutan, buah dipohon itu lebat sekali, manis dan legit dagingnya, seperti sekarang ini. Haikal mencomot setangkai buah rambutan di atas kepalanya, membagikan pada Tegar juga Ana.

“Bagaimana keadaan ayahmu, Ana?” Tegar bertanya sambil mengupas buah rambutan.

Ana melepeh sisa biji rambutan dari mulut. “Mamak bilang sudah mau sembuh. Besok juga sudah dibolehkan pulang ke rumah.” jawabnya, menoleh ke arah Tegar.

Tegar ber-oh pelan.

Haikal yang kini asyik menikmati buah rambutan di dahan paling tinggi, menceletuk. “Ayahmu keren sekali, Ana.”

“Keren apanya?”

“Ya keren,” Haikal gesit memanjat turun ke dahan yang lebih rendah. “Kami mendengar cerita PakLik Jarwo, katanya sopir tronton yang menabrak ayahmu meninggal di tempat, terjepit stir. Lantas, ayahmu menjadi satu-satunya sopir yang selamat, padahal jika dilihat dari kepala mobilnya yang nyaris gepeng, mustahil ayahmu bisa selamat. Pak polisi yang ada di tempat kejadian saja tidak menyangka setelah mengetahui kondisi ayahmu.”

Cerita Haikal benar, dia tidak sedang mengada-ada. Kemarin malam, Ana sempat mendengar sayup-sayup percakapan Mamak dengan abang Ana dari sambungan telepon tentang kronologi kecelakaan yang menimpa ayahnya. Kecelakaan itu bermula saat Ayah yang tengah memarkirkan truknya di pinggir jalan, hendak mampir ke sebuah warung untuk makan siang dan minum kopi. Tapi, belum juga turun dari mobil, tiba-tiba truk tronton melaju kencang dari arah depan. Saat itu jalanan sepi, hanya ada satu dua motor yang melaju dengan rentang jarak cukup jauh, dan juga truk Ayah yang terparkir, maklumlah jalanan perkampungan memang jarang dilewati kendaraan. Ayah mengatakan hanya ada seorang sopir tanpa kernet di dalam truk tersebut. Ayah sudah menduga kalau truk yang melaju cepat itu mengalami rem blong, maka dia berusaha memberi peringatan dengan membunyikan klakson sepanjang mungkin agar sang pengemudi mengambil tindakan cepat. Tetapi, seperti cahaya dari kilat yang menyambar, cepat sekali, tronton yang kehilangan kendali itu langsung menabrakkan diri ke truk Ayah.

Entah apa yang sesungguhnya terjadi, Ayah berhasil melompat keluar dari kaca depan truk. Sekujur tubuhnya bermandikan darah. Warga yang ramai memenuhi area sekitar bergidik ngeri melihat kondisi Ayah. Sampai ada laki-laki paruh baya mengemudikan becak motor yang bersedia mengantar Ayah ke rumah sakit. Ayah yang sudah sempurna duduk di becak, sengaja diikat dengan karet ban agar tidak terlempar kalau-kalau Ayah hilang kesadaran karena banyaknya darah yang mengucur dan becak masih melaju.

Sesaat setelah sampai di rumah sakit itulah, beberapa orang polisi yang ikut mengantarkan Ayah ke rumah sakit, menelepon Mamak untuk mengabarkan kabar yang sangat mengejutkan itu. Begitulah kejadian yang sebenarnya.

“Daripada keren, mungkin lebih baik dikatakan kesempatan.” Tegar menimpali kalimat Haikal. “Kalian ingat kata Umi Siti? Kalau memang belum waktunya meninggal, musibah apa pun tidak jadi pengaruh. Tapi sebaliknya, sebab sederhana seperti terpeleset saja bisa membuat nyawa melayang kalau memang sudah ajalnya. Jadi, tiap waktu yang berjalan adalah sebuah kesempatan.”

Lihat selengkapnya